Dengan kecepatan 70 KM/jam, Bulik Rinten melajukan motornya. Melintasi motor-motor dan mobil-mobil dalam satu jalur, Bulik Rinten amat siksak mengendarai motornya di jalan yang padat. Sesudah melewati tiga perempatan jalan dengan traffic light, motor telah menapakkan rodanya di halaman parkir Taman Kuliner.
Sebagaimana Bulik Rinten, aku pun turun dari jok motor. Dari dalam kantong kain hitam seukuran saku celana, Bulik Rinten mengeluarkan androidnya. "Di mana, Mas? Bangku dekat mushola? Baik, aku ke sana."
Bulik Rinten memasukkan kembali androidnya ke dalam kantong. "Kita ke bangku dekat mushola, Sum."
"Ya, Bulik." Dengan menenteng bungkusan android baru, aku mengikuti Bulik Rinten. Di bangku dekat mushola, aku melihat seorang lelaki seusia Bulik Rinten menghadapi secangkir kopi di meja sambil menikmati sigaretnya. "Bulik.... Apakah orang itu yang ingin Bulik temui?"
Bulik Rinten mengangguk.
Di mataku, Bulik Rinten sudah kenal lama dengan lelaki paruh baya itu. Buktinya sesudah duduk di samping lelaki itu, Bulik tidak merasa kaku dan canggung. Bahkan ia tidak merasa malu ketika menepuk-nepukkan telapak tangannya pada punggung lelaki itu. "Maaf ya, Mas. Aku terlambat datang."
"Tak apa, Dik."
"Oh ya, Mas. Kenalkan. Ini kemenakanku."
Lelaki paruh baya itu menjulurkan telapak tangannya ke arahku. "Namaku, Johan. Namamu siapa?"
"Sumiati, Om. Orang-orang memanggilku, Sum."