Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Petuah dan Ketauladanan Guru sebagai Salah Satu Sumber Etika Jawa

Diperbarui: 22 Juni 2024   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://nakita.grid.id/read/022193153/sekolah-saat-pandemi-begini-respons-dari-seorang-guru-hingga-mengaku-rindu-suasana-kelas-sangat-bahagia?page=all

Ketauladanan dari seorang guru bukan hanya tercermin pada perilakunya baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Perilaku seorang guru pula merefleksikan apakah ia sesungguhnya sebagai pendidik etika Jawa yang baik atau tidak. Kehidupan rumah tangga dari guru tersebut pula menjadi salah satu tolok ukur apakah ia merupakan pendidik etika Jawa yang ideal atau tidak.

Selain dari berbagai produk budaya, etika Jawa dapat bersumberkan dari petuah guru. Petuah guru mereka bisa berasal dari buah pemikirannya sendiri, pengalaman empirik, cerita rakyat, tembang, lagu, atau pengetahuan lain. Bahkan petuah tersebut dapat bersumber dari seluruh, sebagian, atau salah satu produk budaya.

Seorang guru semustinya menjadi figur yang harus dapat digugu (dipercaya petuahnya) dan ditiru (ditauladani perilakunya). Apabila ia tidak dapat digugu dan ditiru, maka predikatnya adalah sebagai guru palsu. Guru yang hanya pintar berteori, namun tidak pecus melaksanakan petuahnya sendiri. Akibatnya, guru yang diklaim sebagai gajah diblangkoni (bisa kojah ora nglakoni/berpetuah namun ogah melaksanakan) tidak akan dihargai oleh anak didiknya.

Sebagai guru semustinya menjadi tauladan bagi semua siswa. Sehingga perannya bukan hanya memberikan ilmu pengetahuan, namun pula memberikan petuah kepada seluruh anak didik. Terutama, bimbingan yang berkaitan dengan unggah-unggah. Sebab apa artinya pintar kalau anak didik tidak memiliki tata krama, kesopanan, atau kesusilaan? Tidak memiliki kepribadiaan emas?

Berpijak pada uraian di muka bisa dikatakan bahwa guru merupakan sumber etika Jawa. Sehingga bisa diibaratkan bila guru sebagai hulu sungai, maka siswa sebagai hilirnya. Jernih tidaknya air di hilir sungai sangat tergantung pada jernih dan tidaknya air di hulu.

Sungguhpun diakui bahwa jernih dan tidaknya air di hilir sungai tidak sepenuhnya tergantung pada air di hulunya. Mengingat banyak orang yang tidak memiliki kesadaran tentang lingkungan sehat sering membuang sampah di sungai. Dari statement tersebut, maka orang-orang yang tinggal di lingkup kehidupan siswa harus mendukung upaya guru di dalam memberikan pelajaran perihal etika Jawa.

Berkaitan dengan pendidikan etika Jawa; guru yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas, pengalaman dalam bidang pendidikan, serta memiliki kebijakan senantiasa mengajarkan perilaku-perilaku mulia kepada seluruh peserta didik, sebagai berikut:

Bersikap hormat

Setiap anak didik diwajibkan untuk menghormati kepada guru. Ia layak dihormati berkat jasa-jasanya. Penghormatan tersebut dapat diekspresikan oleh peserta didik dengan mencium tangan, membungkukkan badan, berkata ramah dan sopan, atau mengikuti perintahnya yang baik tanpa membantah.

Ketika seorang guru sedang mengajar, peserta didik harus menyimak pelajarannya dengan seksama. Karenanya peserta didik yang bicara dengan teman lainnya, bermain android, atau acuh tak acuh saat guru menerangkan pelajaran dianggp tidak etis. Bahkan, ia dianggap tidak memiliki adab.

Peserta didik yang mengkritik guru dengan kasar atau mem-bully-nya dianggap tidak sopan. Mengingat ia yang selayaknya memiliki unggah-ungguh harus melakukan kritik dengan baik. Pengertian lain, kritik bisa disampaikan melalui dialog (diskusi) empat mata. Hal ini dimaksudkan agar kritik tidak mempermalukan guru di hadapan peserta didik yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline