Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Sum /1/

Diperbarui: 20 Juni 2024   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: https://medanheadlines.com/2018/12/27/nestapa-si-gadis-desa/

Bila mengenang masa kanakku, kedua mataku sering berkaca-kaca. Terkadang air mataku yang menyerupai lilin terbakar sumbunya meleleh di pipi. Sungguh. Masa itu tak berpihak padaku. Gadis kecil berkulit hitam, dekil, dan berbajah tirus. Gadis ingusan yang lahir dari rahim perempuan miskin. Istri pertama ayahku yang hanya seorang petani kecil. Hidup di gunung. Jauh dari keramaian kota.

Sewaktu ibuku meninggal, penderitaanku semakin sempurna. Aku yang tinggal bersama ayah, ibu tiri, dan kakak perempuan tiriku senasib budak pada zaman kolonial. Baru saja bangun pagi, aku harus bermandi keringat. Berjalan kaki sepanjang tiga kilometer untuk mengambil air dengan kelenting dari sendang. Merebus air, menanak nasi jagung, dan menyayur untuk sarapan keluargaku. 

Tak seperti kakak perempuan tiriku, Mirna. Bila pergi ke sekolah, ia selalu berbekal uang. Karena saku kosong, aku hanya menggigit jari ketika melihat teman-teman SD-ku jajan di warung kecil samping sekolah. Aku yang sering menyendiri hanya dapat melihat saat mereka minum dan makan. Membayangkan betapa nikmatnya mereka ketika minum dawet pada jam istirahat di siang yang gerah. Betapa mereka sangat suka ketika dapat mengunyah kacang atom sesudah dilambungkan dan memasuki lubang mulut.

Waktu terus bergerak ke depan. Namun aku seperti tetap berjalan di tempat. Nasib buruk sejak masa kanak hingga remaja belum juga hengkang dari hidupku. Bahkan nasibku semakin parah ketika memasuki SMA. Di saat aku mendambakan seorang pacar seperti menegakkan benang ke langit. Hampir semua kawan cowok tak mau melirik wajahku yang berada di bawah standar cantik. Aku hanya pasrah ketika Rian si bintang kelas tampan yang aku taksir memilih Mirna sebagai pacarnya.

Lantaran takut dibilang cewek tak laku, aku berpura-pura menerima tembakan Sarno. Teman sekelas yang menurutku anak terjelek wajahnya di sekolah. Namun, kebaikannya yang tulus, aku perlahan-lahan mecintainya. Hingga aku tak dapat menolak ketika ia mengajakku berjalan-jalan ke alun-alun, taman kota, atau pantai.

Tahun kelulusan tiba. Saat itu, aku merasa sangat bahagia. Berkat dukungan Sarno, nilai ijazahku melampaui Rian. Prestasiku yang membuat kawan-kawanku tak memandangku dengan sebelah mata. Benar kata mendiang ibuku, "Sum! Sekalipun kamu tak secantik Mirna, jangan minder! Hanya prestasi yang akan mendongkrak rasa percaya dirimu nanti."

Kebahagiaan yang aku rasakan tak dapat dilukiskan dengan serangkaian kata-kata dalam puisi. Tetapi kebahagiaan itu sontak serasa tercerabut dari diriku ketika ayahku yang tertabrak truk di jalan raya dekat pasar meninggal di tempat. Bagaikan langit cerah yang tiba-tiba terselimuti awan tebal, kebahagian berubah menjadi kedukaan tak terkira. Terlebih belum seminggu ayah meninggal, aku diusir oleh ibu tiriku dari rumah milik ayahku sendiri.

Hanya berbekal pakain yang melekat di tubuh, aku tinggalkan rumah dengan wajah basah air mata. Tak ada tempat yang bakal aku tuju, selain rumah Bulik Rinten di kota. Adik kandung ibuku yang telah berstatus janda ketika Paklik Harja tergoda dengan seorang penari tayub. (Bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline