Tulisan ini saya tulis depan laptop merk Acer Aspire tipe 4739 mulai jam 22:23 WIB demi memenuhi janjiku pada Gus Husein Arifin setelah saya baca komentar-komentar di group "LKP2M Online Kita" yang bertajuk penuh penasaran dan kontroversial. Sebelumnya, saya berikan salam hangat yang mengironi di malam yang dingin ini. Sendiri aku di dalam ruang kotak berukuran 4x6 meter berusaha mencerna dua kata yang kadang pula membuat aku bingung dengan sendirinya. Yaitu "Keledai Sastra" buka "Kedai Sastra" seperti yang telah diterka oleh Gus Maftuch Junaidy.
Ya, mungkin nama atau istilah itu aneh terdengar di telinga. Karena jikalau Anda mengetik di kotak google search engine pun tidak akan ketemu suatu sumber yang menjawab dan membahas seputar hal tersebut. Namun, seperti yang telah saya kirimkan file tulisan saya yang mungkin saya sependapat dengan apa yang telah dibilang oleh Gus Husein yaitu sebuah file antologi yang isinya kok cuma pepesan kosong. Tapi dua kata itulah yang memang menghiasi cover antologi puisi dan prosa sastra perdana saya dan memang sebutan itulah yang saya pakai untuk memeberikan nama pada antologi itu.
Sebenarnya istilah itu pernah terucap dari bibir penyair (baca: guru saya pelajaran Bhs. Indo ketika SMA) dari negeri biru muda (bumi LAMONGAN). Penyair yang cukup terkenal di kota ini beragumen bahwa "menulislah mulai sekarang, meskipun itu hanya sebatas tulisan-tulisan dalam hemat saya adalah sebuah keledai sastra"
Dua gabungan kata terakhir itu langsung saya tangkap dan tertulis di pikiran saya.Kemudian suatu saat saya menungkap kata-kata itu dengan ijtihad saya sendiri, sehingga saya pun berasumsi bahwa "keledai" seperti sebuah alegori yang saya petik dan jadikan i'tibar di dalam QS. Lukman: 19 yang menyebutkan bahwa . "Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai." Dari sinilah saya bisa berstatemen dan bukan berniat menafsirkan maknanya tanpa melihat asbabun nuzulnya. Namun mencoba mengkaitkan keduanya. Jadi, itu benar sekali apaka kata saya pada segmen yang lalu bahwa "keledai sastra" itu menggambarkan isi-isi syairnya. Sehingga jika Gus Husein bisa menilai puisi-puisi maupun prosa saya pasti akan bisa memahami makna dari "keledai sastra" itupun sendiri yang emang bisa dikatakan sebagai embel-embel dalam cara ber-sastra saya.
Oh ya, hampir lupa terkait "Penyair Sunyi" itu adalah julukan buat diriku sendiri. Meskipun seperti Gus Liza Wahzuninto yang menyatakan bahwa penyair itu bukan gelar, bukan pula jabatan yang harus diagungkan. lahir dari kedalaman budi dan hati. Tapi memang saya berkeinginan kuat bias menjadi seorang penulis maupun penyair. Toh, jika nanti memang aku berhak disebut penyair, itu akan melekat sendiri di belakang, di tengah atau di depan namaku.
Namun kebnayakan isi dari antologi itu saya tulis (karang) di malam hari yang sunyi. Terinspirasi dalam QS. Ad-Dhuha: 2 yang artinya "..dan demi malam apabila telah sunyi (gelap)". Mungkin, begitulah cara pandang saya. Semoga bias menjawab dan bermanfaat dengan respon (tanggapan) yang positif. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H