Lihat ke Halaman Asli

Vicky Saa

Mahasiswa Ilmu Sejarah

Konsumtif di Pesantren

Diperbarui: 3 Januari 2024   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desain Canva

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan berbasis tradisional dimana pendidikan dilakukan secara menyeluruh selama 24 jam yang mana peraturan ditetapkan guna untuk mendidik dan mendisiplinkan siswanya yang biasanya disebut dengan nama "santri". 

Menurut Wikipedia sendiri, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan islam tradisional dimana siswanya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai serta mempunyai asrama untuk menginap santri. Istilah pesantren sendiri berasal dari kata pe-santri-an dimana kata santri berarti murid padepokan atau murid orang pandai dalam bahasa jawa. Sedangkan istilah pondok berasal dari bahasa Arab "funduuq" yang berarti penginapan.

Profesor Mastuhu menjelaskan bahwa tujuan utama pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau kebijaksanaan berdasarkan pada ajaran islam dimana dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan serta realisasi dari peran dan tanggung jawab sosial. Secara saja pesantren juga memberikan banyak pelajaran mulai dari mata pelajaran kitab baik kitab kecil sampai kitab berseri dimana tertera didalamnya ajaran agama yang berkaitan dengan perilaku dan gaya hidup. 

Biasanya pesantren identik dengan slogan nriman alias menerima apa adanya. Bisa dibilang pesantren adalah tempat untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam yang baik dan benar sesuai yang diajarkan oleh Nabi.

Hanya saja, semakin berkembangnya zaman, kekentalan dalam kesederhanaan didalam pesantren meluntur. Perbedaan itu mampu dilihat karena semakin kedepan, remaja semakin merasakan kenyamanan yang instan dimana mereka cenderung merasa tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan sesuatu. Tentu saja hal ini cukup berbeda dengan santri zaman dahulu dimana ketika menginginkan atau membutuhkan sesuatu mereka perlu bekerja keras terlebih dahulu. 

Mereka bersusah payah berjalan menuju pesantren hanya dengan modal nekat saja. Sedangkan santri zaman kini? Mereka hanya cukup menimba ilmu dengan sungguh-sungguh saja, tanpa payah berpikir bagaimana caranya agar tetap berada di pesantren.

Secara saja, arus globalisasi tak akan bisa dihentikan masuk ke pesantren karena rata-rata santri yang mondok sudah terlebih dahulu terpapar dampaknya dan otomatis membawa "penyakit bawaan globalisasi" berupa westernisasi, hedonisme dan konsumtif. Dilihat dari sifatnya yang mutlak terjadi, pencegahan sejak dini yang memang dirasa lebih tepat adalah dengan cara mengurangi penggunaan gawai yang cukup toxic. Gawai sendiri merupakan bagian dari globalisasi yang mana lebih beracun bahkan dibandingkan racun mematikan lainnya.

Kini banyak sekali santri terutama santri putri yang tidak bisa hidup tanpa make up padahal usianya masih dibawah umur. Kulit remaja sendiri adalah kulit yang masih agak lembut dan dapat rusak jika terpapar oleh kandungan make up yang cukup keras. Apabila mereka menggunakannya dalam jangka waktu yang cukup lama, kulit tidak mampu meregenerasi selnya sendiri. Menggunakan make up pun justru membuat pori-pori wajah tertutup sehingga dapat menimbulkan masalah seperti komedo, flek hitam dan yang masalah lainnya.

Di era modernisasi ini, pesantren justru malah menjadi ajang untuk menjadi kosumtif. Karena merasa didalam pesantren begitu kekurangan, mereka tak segan-segan membeli barang yang mereka temui ketika tidak berada di pesantren. Apalagi zaman kini online shop semakin marak sehingga justru memudahkan gaya hidup konsumtif. Padahal gaya hidup konsumtif ini menjadikan pola pikir kurang berkembang dan justru malah bertentangan dengan keyakinan yang dipelajari dalam pesantren itu sendiri.

Namun, yang menjadi sorotan adalah peran orang tua santri yang merasa keadaan anaknya "tidak baik" apabila tak ada mereka disisinya. Santri memang terbiasa lepas dari jangkauan orang tua sehingga membuat orang tua merasa perlu mengabulkan apapun keinginan sang anak. Pemikiran ini patut disayangkan karena itu dapat membuat anak menjadi bersifat lepas kendali dalam berbelanja. Bisa dibilang konsumtif dalam lingkungan pesantren justru dipicu oleh orang tua itu sendiri. Seharusnya orang tua dapat memberikan pedoman yang baik dengan cara membatasi antara keinginan dan keperluan sehingga anak mampu berpikir untuk tidak boros.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline