Lihat ke Halaman Asli

Psikologi Kematian

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Topik psikologi kematian sebenarnya merupakan topik yang cukup luas. Ia mencakup isu seperti reaksi terhadap kematian, bunuh diri sebagai fenomena ganjil, tahapan berduka, isu eksistensialis, dan lain lain. Beberapa tahun belakangan ini mulai muncul penelitian-penelitian Mengenai peran kecemasan akan kematian terhadap kehidupan kita. Mulai dari penelitian penelitian behavioral economics sampai pada penelitian mengenai psychology of religion.

Isu yang akan dibahas disini adalah betapa sentralnya kematian dalam kehidupan manusia. Rasa takut dan cemas bahwa suatu saat nanti kita akan mati membuat kita melakukan proses pencarian makna hidup. Kematian adalah puncak dari segala peristiwa paling mengancam. Karena itu, kematian adalah isu sentral dalam kehidupan kita semua tanpa terkecuali. Untungnya, kita biasa hidup dalam masyarakat dan budaya. Mereka memberikan kita makna hidup. Dari mereka, kita belajar tentang alasan mengapa kita tetap bertahan meskipun suatu saat nanti kita akan mati. Nah, salah satu contoh paling familiar adalah agama. Sejak kecil, kita dididik bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan pintu menuju kehidupan selanjutnya. Selain agama, ada uang, hubungan cinta, kasih sayang, dan prestasi yang biasanya dijadikan tujuan hidup seseorang. Contoh-contoh ini membuat seseorang lupa akan kematian, karena ia paham bahwa keberadaannya di dunia ini pasti memiliki arti.

Kontras dengan arti-arti hidup yang seperti itu, filsafat eksistensialisme menekankan bahwa individu perlu menemukan makna hidup yang bukan hanya ditentukan budaya atau orang lain. Agama, uang, prestasi. Bagi eksistensialis, itu semua bukanlah makna hidup yang tepat, karena setiap orang perlu menemukan makna hidupnya sendiri yang unik. Agama, uang, prestasi dianggap sebagai pelarian dari makna hidup yang sebenarnya. Karena kita biasanya dicekoki oleh doktrin, dogma, dan nilai-nilai yang kaku (misalnya: hidup itu harus punya banyak uang), maka makna hidup kita itu bisa dibilang makna hidup yang superfisial. Makna hidup yang sebenarnya adalah saat seseorang mencari sendiri apa tujuannya untuk hidup.

Sekarang, apakah kita bersedia untuk hidup terus menerus dengan ingatan akan kematian? Atau apakah lebih baik kita fokus dengan tujuan hidup kita, sehingga saat ingatan akan kematian muncul, kita bisa menanganinya dengan makna-makna hidup kita. Misalnya: kalau dalam agama,

saat kita ingat kematian, kita ingat bahwa ada Tuhan Yang Maha Melindungi orang-orang beriman dari siksa kubur. Jadi, kita semakin termotivasi menjalankan perintah agama (arti hidup kita dalam agama, biasanya untuk berbuat kebaikan – sebagai contoh dalam Islam, manusia adalah khalifah)

Kebanyakan orang akan memilih ingatan kematian yang bisa dikurangi dengan tujuan hidup kita. Namun, tidak semuanya sependapat. Sebagaimana yang yang telah disebutkan, gerakan eksistensialis memilih untuk terus mengingat kematian sebagai jalan untuk menyadarkan bahwa hidup harus dijalani sepenuh hati. Tanpa adanya kematian, untuk apa menjalani kehidupan sepenuh hati?

Bagi mereka yang tidak menganut agama biasanya mencari makna hidup seperti prestasi, cinta dengan pasangan hidup, dan lain-lain. Jika dalam agama makna hidupnya adalah kehidupan setelah kematian, orang tanpa agama makna hidupnya adalah keabadian yang bisa dicapai lewat karya-karya. Misalnya: buku, penelitian, berhasil menyekolahkan anak cucu. Tentu saja, prestasi, cinta, dan lain-lain pun juga bisa jadi makna hidup bagi orang beragama sehigga tidak bisa kita mengkotak-kotakkan makna hidup.

Memang, ingatan akan kematian biasa dimunculkan lewat peristiwa konkrit, misalnya: melihat orang wafat. Namun, manusia adalah makhluk yang memiliki pikiran dan sadar akan keberadaannya. Ia juga sadar bahwa kehidupannya suatu saat akan berakhir. Jadi, sangat dimungkinkan kalau rasa takut akan kematian muncul hanya karena berpikir mengenai kematian tanpa adanya peristiwa konkrit, seperti terancam ditabrak mobil. maka, hal yang perlu dilakukan untuk mengatur rasa cemas kita akan kematian adalah dengan mengajak diri kita sendiri untuk berpikir, apa yang ingin benar-benar dikakukan oleh kita, sebelum mati? Hal apa yang bisa membuat kita berjuang hidup meski kematian di depan mata? Dan jawabannya akan unik bagi setiap individu.

Menurut teori, secara natural manusia sebetulnya akan cemas menghadapi kematiannya sendiri. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang tidak takut mati? Pertanyaan tersebut sebenarnya terkait dengan fenomena orang-orang yang melakukan bunuh diri. Bagaimana bisa mereka 'seberani' itu? Apa tidak takut?

Bunuh diri, menghilangkan keberadaan kita di dunia. Mereka yang melakukan tindakan ini cenderung mengalami depresi dan biasanya kehilangan makna hidupnya. Disinilah mengapa makna hidup adalah sesuatu yang penting. Ia menjadi alasan seseorang untuk bertahan hidup

meski hidup penuh penderitaan. Jadi, untuk orang-orang yang tidak takut mati kita perlu membantu mereka untuk memulihkan makna hidupnya. Ada yang ingin bunuh diri bukan karena tidak takut mati, tapi karena ia lebih takut lagi menghadapi apa yang harus ia hadapi saat hidup itu. Menarik, lagi-lagi kalau kita kaitkan pada makna hidup, orang yang bunuh diri dengan alasan sudah merasa bahwa hidup tidak patut diperjuangkan. Ia bahkan sudah tidak lagi ingin menghadapi apa yang ada di hadapannya. Berdasarkan penelitian ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri, yaitu:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline