Menelisik perkembangan konsepsi HAM dalam lintasan sejarah dunia, tidak berlebihan kiranya mengharapkan kedewasaan pemahaman tiap-tiap negara terhadap HAM. Mulai dari tataran konseptual, hingga praktiknya dalam keseharian. Faktanya, menyaksikan situasi perlindungan dan pemenuhan hak asasi di beberapa negara, siapapun jadi tak berani berharap lebih.
Lihatlah peristiwaperistiwa terbunuhnya kemanusiaan belakangan ini. Di Indonesia, terjadi aksi teror. Rumah ibadat dibakar dan satu keluarga jadi korban pembantaian sadis. Di Mesir, perempuan ditindas hak-haknya, dipaksa menjalani tes keperawanan. Di Malaysia, perempuan yang bekerja sebagai buruh perkebunan diperkosa disertai ancaman pembunuhan. Di Tiongkok dan Myanmar, terjadi pengusiran besar-besaran terhadap etnis Uighur dan Rohingya. Masih banyak tragedi lainnya, tentu. Satu kolom media massa jelas terlalu kecil untuk memuatnya.
Berhadapan dengan berbagai kenyataan mengerikan seperti tersebut di atas, pemikiran tentang hak-hak asasi manusia yang berkembang sejak awal abad 13 seolah tak ada artinya. Dokumen-dokumen HAM, mulai dari Magna Carta, konstitusi Amerika Serikat, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, hingga yang mengadakan pengaturan secara lebih spesifik semisal International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), seakan tak lebih dari sekadar tumpukan novel fiksi. Cerita tentang bahagia yang hampir tak mungkin terjadi dalam realita.
Lalu, pertanyaanya adalah, tidak, kali ini saya tidak akan bertanya. Barangkali bertanya hanya akan mengundang kegaduhan dalam debat tak berkesudahan, sedang implementasi jadi hal kesekian yang tidak mendesak, atau bahkan tersisihkan dari rangkaian wacana. Mungkin kali ini cuma butuh merenung. Tentang sudah seberapa jauh umat manusia melangkah. Tentang ke mana arah langkah itu; mendekat pada, atau malah menjauh dari kemanusiaan.
Di tengah tatanan kehidupan global yang dinamis, sudah seharusnya setiap negara senantiasa mengevaluasi diri terkait dengan upayanya menegakkan hak-hak asasi manusia di negaranya. Hak asasi manusia harus dijadikan prioritas yang harus segera dipenuhi dan selalu dilindungi.
Perlindungan dan pemenuhan tersebut tidak boleh ditunda-tunda, apalagi sampai ditiadakan. Indikator penegakan HAM juga selayaknya dijadikan sebagai faktor penting dalam menentukan hubungan diplomasi antara suatu negara dengan negara lainnya. Artinya, setiap negara harus memasang "standar tinggi" dalam hal penegakan HAM.
Masing-masing negara harus betul-betul menjunjung tinggi HAM. Kalau tidak, mereka tidak akan diterima dalam pergaulan internasional. Setidaknya itu akan menyulitkan negara yang bersangkutan, sehingga mendorong mereka untuk menempatkan HAM sebagai aspek penting yang harus selalu ditegakkan.
Kondisi di Indonesia
Sebagaimana diantarkan sebelumnya, tragedi kemanusiaan yang sangat mencederai nilai-nilai HAM juga terjadi di Indonesia belakangan ini. Sebanyak 4 (empat) orang tewas dalam pembantaian yang terjadi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Rumah ibadat umat Kristen di sana turut menjadi sasaran aksi teror, dibakar sampai rata dengan tanah.
Pelakunya, diduga merupakan anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang telah lama menjadi sumber keresahan. Kecaman dan kutukan keras dilancarkan oleh banyak pihak. Tak terkecuali pemerintah Indonesia sendiri, meski penyampaian pernyatan kutukan itu tak secepat kutukan yang dialamatkan pada tindakan teror di negara nun jauh di Eropa sana (Mengacu pada tindakan teror yang juga terjadi baru-baru ini di Perancis).