Saat masih duduk di bangku sekolah menengah, pernah terlintas sebuah harapan dalam pikiran dan hati saya; semoga persoalan - persoalan pelanggaran HAM, terutama pelanggaran HAM berat masa lalu, tidak lagi menjadi topik hangat untuk didiskusikan. Harapan tersebut tidak muncul karena saya skeptis terhadap persoalan - persoalan HAM.
Melainkan karena saya menaruh harapan besar kepada pemerintah, bahwa pemerintah, dalam tempo yang singkat, akan berhasil menyelesaikan kasus pelanggaran - pelanggaran HAM yang terjadi dan pernah terjadi di negeri ini. Kini, saya duduk di semester 5 bangku perkuliahan, dan pelanggaran HAM berat masa lalu masih menjadi topik diskusi yang hangat.
GMNI FH USU mengadakan seminar HAM
Berangkat dari kegelisahan - kegelisahan atas kasus - kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tak kunjung menemui titik terang, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tanggal 27 September 2019 mengadakan Seminar Hak Asasi Manusia dengan tajuk; Kilas Balik Pelanggaran HAM Masa Lalu: Sampai Kapan Kami Menunggu ? Seminar ini tidak lain adalah upaya untuk mencari formulasi yang tepat guna menghadirkan solusi yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.
Seminar ini dihelat di Gedung Peradilan Semu Fakultas Hukum USU dan menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Dian Purba (Dosen/Sejarawan), Majda El Muhtaj (Dosen/PUSHAM UNIMED), dan Anwar Saragih (Dosen/Pemerhati Politik).
Penegakan HAM dalam pusaran politik nasional
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan HAM telah menjadi dagangan politik di negeri ini. Hampir semua politisi bicara lantang soal HAM serta menjanjikan penegakan HAM saat kampanye, namun diam seribu bahasa ketika sudah menjabat. Masalah penegakan HAM yang tadinya prioritas dalam daftar, kini masuk ke urutan kesekian, atau bahkan langsung dikeluarkan dari daftar.
Masyarakat yang memiliki harapan besar terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM akhirnya hanya menjadi lumbung suara yang turut mengantarkan pemimpin - pemimpin yang kini bungkam itu ke singgasananya. Kemudian, yang terjadi adalah kesenjangan antara logika dengan realita. Pemimpin yang menjanjikan penegakan HAM itu justru mengangkat para pelanggar HAM menjadi pejabat publik.
Konstelasi politik nasional sejauh ini tampaknya tidak menjadi alat yang ampuh untuk mendorong penyelesaian kasus - kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia.
Sebaliknya, situasi perpolitikan saat ini justru menjadi kendala terhadap upaya - upaya penegakan HAM. Dalam perpolitikan di negeri ini, yang sangat kental nuansa pragmatisme dan oportunismenya, penegakan HAM barangkali hanyalah lelucon, dan isu untuk mendongkrak elektabilitas pada masa pemilihan. Tragis.