Lihat ke Halaman Asli

Christian Rahmat

Memoria Passionis

Diskusi, Tradisi Intelektual yang Terabaikan

Diperbarui: 15 September 2019   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Ketika seni berdiskusi dimaknai tidak lebih dari sekadar "ngebacot", di situlah para intelektual sejati harus berdiri mempertahankannya sebagai sebuah tradisi intelektual

Bagi beberapa orang, diskusi mungkin tak lebih dari sekadar ngebacot, lalu hilang begitu saja. Namun, bagi para pemuja ilmu pengetahuan, diskusi adalah seni dan tradisi intelektual yang memiliki kenikmatan serta keindahannya tersendiri. 

Kuantitas serta kualitas diskusi boleh jadi merupakan salah satu indikator utama yang menggambarkan kehidupan intelektual di sebuah tempat, tak terkecuali di lingkungan sekolah dan kampus. Albert Einstein, si jenius abad 20 pernah mengatakan;

"Orang-orang akademis banyak sekali, tapi guru yang bijak dan mulia sangat jarang. Ruang-ruang kuliah banyak dan besar-besar, tapi jumlah anak muda yang haus akan pencarian kebenaran dan keadilan hanya sedikit."  

Pernyataan Einstein tersebut hendak memberikan pencerahan kepada kita bahwasanya apa yang kita kenal sebagai sekolah dan kampus tak pernah menjamin bahwa di sana akan hidup dan berkembang tradisi-tradisi intelektual.

Pernyataan tersebut juga bermakna bahwa tradisi-tradisi intelektual tak hanya tumbuh di lingkungan sekolah dan kampus. Di luar kampus pun, tradisi intelektual tersebut punya potensi untuk tumbuh dan berkembang.

Dengan kata lain, tradisi intelektual itu bukanlah monopoli sekolah dan kampus. Di mana pun, baik di sekolah atau di luar sekolah, di kampus atau di luar kampus, selama masih terdapat manusia yang senantiasa rindu dan haus akan ilmu pengetahuan, maka disanalah tradisi intelektual itu tumbuh subur.

Anggapan bahwa tradisi intelektual tak hanya tumbuh di lingkungan sekolah dan kampus tentu tidak muncul begitu saja tanpa alasan. Di tengah lingkungan sekolah dan kampus yang telah dibayang-bayangi pragmatisme serta oportunisme, kata-kata Einstein menemukan kebenarannya.

Diskusi tak lagi digalakkan, membaca tak lagi jadi kewajiban, menulis tak lagi dibudayakan, serta tradisi-tradisi intelektual lainnya yang kini terabaikan.

Intelektualitas semakin tergerus oleh budaya pragmatisme yang menginginkan semuanya serba instan. Intelektualitas hanya menjadi sebuah kata yang kehilangan makna. Intelektualitas kini hanya dipahami sebagai sebuah formalitas kata-kata belaka.

Seseorang masuk kampus, kemudian ia menyandang gelar sarjana, menyandang gelar sebagai insan intelektual, namun sama sekali tidak berperilaku selayaknya insan intelektual.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline