Perempuan itu berbaring di atas aspal yang basah oleh hujan.
Menatap kosong ke arah langit.
Bibirnya bergetar,
Ia mencoba mengucap sesuatu,
Mendadak ia ingin sekali mengucap kalimat itu,
Tapi ia tak bisa, tak pernah bisa.
Seketika badai sesal yang begitu besar meluap dari dalam dadanya
Memuntahkan setitik air pada matanya yang kelabu,
Setitik saja.
Ia tak sedang menangis,
ia sedang melukis
Setitik air itu terbang menghampiri kekosongan yang sedari tadi berdiam di atas sana
Mengusirnya, lalu menggantinya dengan lukisan sepotong wajah,
Wajah yang mendadak begitu ia rindukan
Kini ia benar-benar menangis
Menangisi wajah itu
Sebab, wajah itu sekarang sedang menunggu,
Di satu tempat yang letaknya tak jauh dari situ
Menunggu sebuah janji datang untuk bertemu
Saling bertukar rindu dalam haru
Lalu ia mencoba mengucap kalimat itu lagi,
Sebab tak ada lagi waktu setelah ini
Dengan usaha yang sepuluh kali lipat lebih keras dari sebelumnya
Tapi bibirnya bergetar sekali lagi
sepuluh kali lipat lebih kencang dari sebelumnya
Ia tak bisa, tak pernah bisa.
Seorang pengemudi yang sedang terkejut berlari dengan tergesa-gesa,
Mengacuhkan sepeda tua yang penyok dilibas truknya barusaja,
Memastikan denyut dalam nadi perempuan itu masih ada
Perempuan itu masih berbaring di sana
Di atas aspal yang basah oleh hujan dan darah.
Ia pikir sudah waktunya untuk menyerah,
Perempuan itu,
kemudian menutup matanya.
Dengan bibir yang menganga.
Beranda Anak Malam, 28 Juni 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H