"Kita selfie, yuk!"
Kalimat ajakan tersebut tampaknya sudah jadi hal yang umum kita dengar ya. Saking banyaknya orang yang melakukan selfie, kegiatan "foto narsis" ini sudah bisa dikategorikan sebagai budaya dan menjadi semakin populer ketika beberapa tokoh besar dunia melakukan selfie di sela-sela kegiatan yang sedang dilakukannya. Saking populernya, sampai kamus Oxford memberi gelar "Word of The Year" untuk selfie pada tahun 2013. [caption id="" align="aligncenter" width="605" caption="President Barack Obama, Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan Perdana Menteri Denmark Helle Thorning-Schmidt melakukan selfie"][/caption] Istilah selfie merujuk pada kegiatan membuat potret diri yang dilakukan sendiri dengan menggunakan kamera (termasuk kamera ponsel). Meski istilah 'selfie' baru muncul pada tahun 2002 (di sebuah forum Australia), namun kegiatan ini bukanlah hal baru. Foto diri oleh Robert Cornelius tahun 1839, diyakini sebagai Selfie pertama di dunia. Dan sejak sejak munculnya kamera boks Kodak Brownie pada tahun 1900, kegiatan mengambil foto diri sendiri mulai banyak dilakukan, biasanya melalui cermin. [caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Foto selfie Anastasia Nikolaevna, tahun 1914 (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Foto_narsisis)"]
[/caption] Putri Kekaisaran Rusia, Anastasia Nikolaevna, adalah salah satu remaja yang diketahui pertama kali mengambil fotonya sendiri melalui cermin untuk dikirim kepada temannya pada tahun 1914. Selfie memang lekat sekali dengan remaja; atau orang-orang yang berjiwa muda. Karena keterbatasan teknologi, pada awalnya selfie hanya dilakukan sendirian. TKP (Tempat Kejadian Pemotretan) favorit adalah di depan cermin besar (seperti di toilet mall) atau di kursi penumpang mobil. Sementara pose favorit para remaja (terutama perempuan) adalah dengan memajukan bibir (manyun/monyong) sehingga sering disebut pose duck-face. Tentu tidak ada yang salah dengan 'memotret diri sendiri', tapi memposting selfie ke ranah digital bisa jadi indikasi bahwa pelakunya memiliki gangguan kejiwaan.
[caption id="" align="aligncenter" width="603" caption="Selfie pose duck face (Sumber: http://www.merdeka.com/teknologi/berpose-duck-face-itu-gangguan-psikologis.html)"]
[/caption] Dr Pamela Rutledge, dari Media Psychology Research Centre menyebut "Kegiatan memposting foto selfie menunjukkan orang tersebut kesepian, butuh pengakuan, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.” Bahkan Dr Pamela menambahkan orang yang memposting foto selfie dengan pose duck face biasanya tidak terlalu pintar, "Pose dengan ekspresi wajah bebek ini menunjukkan rendahnya kepercayaan diri dengan wajah natural dan takut tidak terlihat menarik.” Memang benar, pose duck face dapat menyamarkan kekurangan wajah, tetapi bukan berarti bisa membuat wajah jadi terlihat lebih menarik! Sama seperti make-up: fungsi utamanya adalah menyamarkan bagian wajah yang dirasa kurang menarik atau menonjolkan bagian wajah yang dirasa sempurna. Tapi bukan berarti pakai make-up = jadi cantik. Nah, make up dalam konteks selfie adalah filter yang tersedia pada beberapa aplikasi foto di smartphone; seperti Camera 360 misalnya. Karena merasa tidak cantik, beberapa orang menggunakan filter foto secara berlebihan sehingga hasilnya berbeda jauh dengan kenyataan. Ini adalah efek negatif dari selfie: gaya hidup pencitraan; di mana orang mulai menciptakan tuntutan pada diri sendiri untuk mendapatkan penilaian terbaik dari publik terhadap mereka. Lagi nangis di kasur, selfie. Lagi ganti baju di toilet, selfie. Semua dilakukan demi meraih perhatian dan popularitas yang diraih hanya lewat likes dan comments. [caption id="attachment_298704" align="aligncenter" width="623" caption="Saya dan istri melakukan selfie dari pelaminan (Sumber: koleksi pribadi)"]
[/caption] Selfie adalah bentuk aktualisasi diri, sebuah kebutuhan sebagai mahluk sosial yang harus dipenuhi ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi. Jadi, sebetulnya tidak ada yang salah dengan aksi selfie asalkan tidak terjebak dengan pencitraan diri sendiri. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Paus Francis melakukan selfie (Sumber: http://www.bbc.com/news/uk-24992393)"]
[/caption] Apalagi kini dengan hadirnya beberapa inovasi seperti monopod alias tongsis (tongkat narsis) dan kamera depan pada ponsel, kegiatan selfie pun semakin mudah dilakukan. Selfie bersama banyak orang pun jadi tidak ribet lagi, kegiatan ini pun bergeser maknanya: dari sekedar bentuk eksistensi di media sosial menjadi sarana (media) untuk benar-benar bersosialisasi. [caption id="" align="aligncenter" width="644" caption="Para aktor melakukan selfie di ajang Academy Awards (Sumber: http://tech.fortune.cnn.com/)"][/caption] Buktinya adalah anda tidak akan mengajak sembarang orang dempet-dempetan untuk selfie, kan? Saya rasa inilah salah satu sisi positif selfie. Smartphone yang tadinya justru menjauhkan interaksi sosial di dunia nyata (lagi ngumpul malah sibuk sama gadget masing-masing), kini kamera smartphone tersebut membuat semua orang kembali dekat (secara harfiah) untuk melakukan selfie.
"Kita selfie, yuk!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H