Sekarang media gencar memberitakan tentang penangkapan para koruptor baik yang telah lama menjadi buronan dan lari ke luar negeri, ataupun koruptor yang tertangkap tangan menerima suap dari para konglomerat. Miris dan pilu setiap membaca dan menonton berita tentang ulah para koruptor. Banyak pengamat politik yang mengulas tentang hal ini, namun selain berita dan analisa dari para pengamat politik di Indonesia ternyata ada dua orang pengamat dari Australia Howard Dick dan Jeremy Mulholland yang mengupas secara mendalam, tidak tebang pilih tentang sepak terjang para koruptor dan juga bagaimana peranan KPK dalam melawan ini semua.
Tulisan mereka berdua dimuat di Georgetown Journal of International Affairs dengan judul "The Politics of Corruption in Indonesia" untuk lebih lengkap bisa dibaca linknya di sini https://muse.jhu.edu/article/615082/pdf. Hasil terjemahan dari tulisan mereka bisa anda baca dengan nyaman di bawah ini. Tujuan penerjemahan adalah agar kita bisa lebih mengerti persoalan korupsi politik di Indonesia dari sisi pengamat luar negeri.
Korupsi Politik Indonesia
Howard Dick dan Jeremy Mulholland
Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, Indonesia terbesar ketiga dalam sistem kedemokrasian di dunia setelah India dan Amerika Serikat, salah satu pasar domestik terbesar di dunia (setara dengan Perancis dan Inggris) dan juga negara muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu, permainan politik elit Indonesia yang rumit mesti dikupas secara mendalam.
Sejak diumumkannya hasil survei Transparency International 2015 tanggal 27 Januari 2016, pemerintahan Jokowi condong menafsirkan hasil survei tersebut sebagai perkembangan positif menyangkut perbaikan tata kelola politik. Namun sesungguhnya hasil survei tersebut hanyalah berdasarkan persepsi-persepsi subyektif semata yang tidak seusai dengan kenyataan politik ekonomi Indonesia.
Kalau kita memusatkan perhatian pada perekonomian Indonesia, tantangan-tantangan paling hebat adalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan, serta sarana dan prasarana penunjang kehidupan publik. Sedangkan dalam ranah perpolitikan, tantangan terberatnya adalah korupsi elit. Pada umumnya, wacana anti-korupsi berkaitan erat dengan gagasan teoretis bahwa korupsi itu merupakan suatu disfungsi atau dapat dipahami sebagai semacam kanker yang menular ke dalam tubuh politik yang perlu “diobati” untuk mencapai tata kelola politik yang baik. Ada pula gagasan teoretis lain yang juga kerap dipakai dalam memaknai korupsi, yaitu, korupsi adalah akibat dari manusia yang busuk. Manusia-manusia busuk itu dapat diidentifikasi untuk kemudian disingkirkan secara efektif.
Akan tetapi, pada kenyataannya Indonesia adalah masyarakat patronase. Korupsi sudah menjadi “jantung kultural” dalam berbagi kekuasaan dan kekayaan di antara pembesar-pembesar partai politik dan jaringan-jaringan kekuasaan yang berlawanan dalam sistem kedemokrasian Indonesia. Meskipun semenjak akhir tahun 2003 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – yang merupakan sebuah terobosan kelembagaan di Indonesia – sudah berupaya menahan dan menuntut para politisi dan birokrat kelas kakap, namun korupsi makin lama makin merajalela. Banyak anggota dari para penguasa politik yang berusaha untuk menyerang dan mengerdilkan KPK.
Sejarah Korupsi Politik
Semenjak 1999, Indonesia memiliki sistem kedemokrasian multi-partai yang stabil dan berhasil bertahan jauh lebih lama dibandingkan dengan pengalaman kedemokrasian di dasawarsa 50-an. Akan tetapi, dalam periode demokrasi kedua ini, praktik-praktik korupsi menjadi tema utama dalam wacana politik. Di satu sisi, tak ada satu pun calon presiden yang tidak menjanjikan komitmen pemberantasan korupsi. Di sisi lain, biaya politik yang semakin mahal mengakibatkan tak ada satu pun calon presiden yang sanggup memenangkan pemilihan umum tanpa mobilisasi dana politik besar-besaran, terkadang menghalalkan segala sumber dan cara – entah itu putih, abu-abu, atau hitam. Hal serupa juga terjadi pada para calon kepala daerah dan anggota legislatif. Maka jangan heran jika janji-janji kampanye yang berkobar-kobar kepada rakyat runtuh oleh janji-janji tak terucap kepada pendana-pendana elit yang menagih secara halus piutang budi yang tak tulus yang telah mereka tanamkan.
Praktik-praktik korupsi semakin terang setelah badan ‘independen’ Komisi Pemberantasan Korupsi mulai bekerja pada tahun 2004. Namun jika ditinjau sejarah berdirinya lembaga tersebut, kejadiannya cukup mencengangkan. Jauh sebelum berdirinya KPK, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah mengamanatkan agar dibentuknya suatu komisi antikorupsi. Namun lembaga itu tak juga kunjung dibentuk. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melahirkan ‘Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara’ (KPKPN).