Menarik juga ulasan dari Asaaro Lahagu di web ini.
yaitu soal manuver dan perangkap elit politik negeri ini. Para elit pemimpin partai politik memang harus banyak taktik dan manuver, tidak boleh hanya diam, supaya tidak masuk perangkap lawan, dan juga usaha memancing lawan masuk kedalam perangkap sendiri sehingga bisa terjamin untuk muncul sebagai pemenang. Begitulah masih suasana perpolitikan nasional maupun internasional dalam tingkat perkembangan dunia sekarang.
Jokowi menang pada pilpres 2014 lalu. Perangkap-perangkapannya, taktik-taktik, strategi dan manuvernya sudah berlalu, pemenangnya sudah jadi presiden. Sekarang menjelang pilpres 2019, perangkap-perangkapan, taktik/strategi manuver-manuver baru mulai lagi. Siapa yang terperangkap akan kalah, sudah jelas kayaknya, karena waktunya sudah semakin dekat. Atau siapa yang bakal menang juga sudah lebih bisa diduga, yaitu petahana Jokowi, terutama kalau dilihat dari berbagai survey yang sudah keluar hari-hari terakhir.
Pihak Petahana Jokowi juga harus aktif tentunya menghadapi taktik/strategi lawan serta manuver-manuvernya yang sering berubah dan berganti menyesuaikan dengan situasi konkret didepan mata. Harus juga mempelajari proses berbagai kontradiksi dilapangan, terutama dengan melihat kejadian-kejadian yang tidak disangka-sangka dihadapan mata.
Salah satu contohnya ialah tiba-tiba majunya Amien Rais jadi nyapres karena dapat inspirasi dari naiknya Mahatir Muhammad (92) jadi PM di Malaysia. Ini sajapun bisa memunculkan manuver-manuver baru dikalangan elit, terutama harus melihat dan menghitung perubahan dan pergeseran kekuatan politik yang ada dibawah pengaruh kekuatan individu Amien Rais, walaupun kekuatan ini terlihat kayaknya semakin kecil tak berarti.
Para elit ini sudah melihat dengan jelas bahwa cawapres kali ini sangat bisa menentukan menang kalah pertarungan pilpres, atau setidaknya banyak pengaruhnya. Dan yang lebih menarik lagi ialah siapa yang menentukan duluan, bisa jadi pedoman yang menguntungkan bagi pihak lawan. Wow . . . suatu fenomena yang sangat luar biasa yang pernah terjadi di negeri ini, karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Petahana Jokowi sepertinya sudah siap menghadapi semua kemungkinan. Kalau dari segi agama ulama-ulamaan . . . sudah ada cawapresnya. Kalau dari segi ahli . . . juga sudah ada cawapresnya. Kalau dari segi militer . . . juga sudah siap. Tinggal menunggu capres/cawapres lawan. Sampai detik ini situasinya masih begitu, saling menanti, dan kita sendiri (publik) juga ikut menantikan kejadian selanjutnya dengan penuh harapan dan kesungguhan.
Lapol (lawan politik) Jokowi memang lebih banyak dilemanya. Prabowo dengan masa lalunya, dan punya problematik besar untuk menetapkan cawapresnya. Kalau salah pilih bisa mengakibatkan tidak ada partai lain yang mendukung. Tanpa dukungan partai lain, percuma nyapres, karena tidak memenuhi batas threshold kalau hanya sendirian (Gerindra saja).
SBY punya problem lain, putranya AHY belum bisa maju sendiri, sementara harus nebeng dulu. Ini betul juga memang, 'berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian'. Harapan besar masih meluap-luap terutama dari sang ayah demi putra tercinta. Problemnya, nebeng siapa dan kemana, nebeng oposisi atau pemerintah.
Anies punya problem dengan parpolnya artinya tidak punya parpol, tidak mungkin maju sendiri. PD/SBY bisa maju dengan menampilkan sang putra tercinta sebagai cawapres.
Dan betul juga kayaknya kalau kombinasi Anies/AHY lebih menakutkan bagi petahana Jokowi. Ulasan AL (seword) masuk akal, taktik perangkap bisa dipakai disini, artinya supaya yang maju nyapres ialah Prabowo, karena statistik elektabilitasnya sudah dikenal, termasuk didalamnya kenegatifan masa lalunya. Prabowo/AHY sebagai lawan lebih 'ideal' he he . . walaupun barang di kali tetap masih terapung, masih bisa hanyut kemana saja.