Lihat ke Halaman Asli

The New Hypocrisy

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

The New Hypocrisy

Istilah hypocrisy atau ‘munafik’ dalam kehidupan barat adalah istilah yang sudah sangat tua, atau istilah itu kemungkinan adalah pertanda pertama perkembangan pikiran manusia dari primitif ke civilisasi. Dalam zaman primitif pastilah istilah itu tak dikenal, dan tak ada gunanya dan karenanya juga tak terpakai dalam kehidupan primitif itu. Kontradiksi dalam kehidupan pada dasarnya hanyalah dengan alam, dan alam tak mengerti kemunafikan. Jadi istilah ini bisa muncul barulah setelah ada kontradiksi dalam masyarakat, setelah munculnya golongan/klas yang berlainan atau yang bertentangan dalam masalah kepentingan. ”In England the only homage which they pay to Virtue is hypocrisy”, kata penyair Inggris Lord Byron (1788-1824), yang hidup dalam abad romantisme eropah. Lord Byron sebagai seniman melihat fenomena ini terutama dikalangan elit eropah, menyatakan curahan hatinya dalam menentang dominasi norms and values orang-orang aristokrat Eropah ketika itu.

Dari era romantisme ini berangsur muncul era Enlightenment sebagai cikal bakal pertumbuhan individualisme dan nationalisme di Eropah dan kemudian keseluruh dunia. Natonalisme ini sejak semula juga sudah ada dua aliran, yaitu aliran primordialis dan modernis. Dua aliran inilah yang kita jumpai sekarang ini dimana-mana dan dibidang politik terlihat semakin tajam kontradiksi antara keduanya. Orang modernis ini semakin terlihat bertendensi persatuan ’internasionalisme’ humanis, persatuan semesta kemanusiaan, menjurus ke tendensi ’satu kultur dunia’ atau kelanjutan politik multi-kulti ’multikulturalism’ dan kekuasaan global ke satu tangan.

Peimordialis (dipakai juga istilah ethnonationalism) sebaliknya mengutamakan spirit primordial dari sumber yang nyata yang ada dalam kehidupan, dari kehidupan kultural yang dimiliki setiap manusia dan grup manusia, dengan perkataan lain, “primordialist describes nationalism as a reflection of the ancient and perceived evolutionary tendency of humans to organize into distinct groupings based on an affinity of birth”. http://en.wikipedia.org/wiki/Nationalism

Karena itu peimordialsme atau ethnonationalisme adalah produk dari kultur, bukan produk alam kata prof Jerry Z. Muller of Catholic University USA, dan memang ethnonationalism atau primordialism atau sukuisme seperti Muller katakan, bikin kita tidak merasa enak secara moral ataupun secara intelektual (‘diskonfiting both intellectually and morally’), tetapi dari kenyataan, biar bagaimanapun, perasaan ini tidak akan bikin hilang ethnonationalisme atau primordialisme itu. Karena itu selanjutnya juga Muller bilang ”Whether politically correct or not, ethnonationalism will continue to shape the world in the twenty-first century”. Abad ini masih seratus tahun kedepan, kita baru saja mulai.

The Establishment.

Walaupun secara teori dan praktek, dan telah dibuktikan dan dibukukan oleh banyak ahli sosial dan antropologi dunia bahwa fenomena ethnonasionalisme atau primordialimse sudah menjadi kenyataan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dan terutama dalam perkembangan demokrasi dimana ethnicity sudah harus jadi salah satu faktor utama, tetapi sambutan dari the establishment dalam masyarakat atas soal ini masih tetap dilihat dengan sebelah mata, atau pura-pura melihat dengan sebelah mata, terutama di negeri-negeri maju Eropah.

The Establishment disini lebih bertendensi ke ‘global culture’ daripada ke ethnonationalism ‘primordial perspektif’. Tetapi bersamaan dengan semakin kuatnya atau semakin populernya gerakan politik dan massal ‘the new right’ Eropah (Alain de Benoist- Perancis) yang banyak berhasil mendirikan partai-partai politik (dicap partai rasis dan anti orang asing) dan juga yang semakin membesar di banyak negeri eropah, the establishment di negeri-negeri ini semakin terlihat semakin munafik, disini kemunafikan yang baru. Saya katakan ‘baru’ karena bukan munafik dalam definisi biasa (menuduh yang lain tapi juga berbuat sendiri), tetapi disini sepertinya menginginkan orang yang dituduh supaya dapat sukses yang lebih besar.

Salah satu contoh partai kanan yang dituduh ‘rasist’ di Eropah ialah partai SD (Sverige Demokrater, Demokrat Swedia). Partai ini semakin besar dan sekarang jadi partai nr 3 di Swedia. Partai ini jelas suaranya, menginginkan Swedia tetap bisa memelihara keswediaannya, tradisinya dan way of thinkingnya. Siapa orang Swedia yang tidak memimpikan ini? The Establishment? Mereka harus munafik.

Di Indonesia banyak jargon politik, a.l. melestarikan kultur dan budaya, kearifan lokal, dan yang paling modern ialah memanfaatkan potensi perbedaan. Yang terakhir ini masih kacau belum mapan, karena masih ada juga yang ingin ’menghilangkan perbedaan’, atau ’menyatukan perbedaan’. Pengertian tentang potensi perbedaan masih ramang-ramang. Tapi bangsa kita sudah bertekad akan terus mempelajari dan menggali potensi kebinekaan, karena negeri kita adalah negeri PERBEDAAN. Disini tak perlu ada kemunafikan, yang baru maupun yang lama. Tiap kultur atau daerah adalah sumber potensi yang tak akan pernah kering dalam membangun Nation Indonesia sebagai negeri Bineka Tunggal Ika.

MUG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline