Lihat ke Halaman Asli

Spiritual dan Nasionalisme, Pendidikan Utama yang Semakin Terabaikan

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya”

_Mark Twain_

Setelah membaca kutipan di atas saya yakin pembaca pasti tersentak kaget. Kenapa bisa Mark Twain memisahkan antara konsep sekolah dengan pendidikan dan seakan menganggap sekolah itu adalah hal yang akan mengganggu pendidikannya? Bukankah dari sekolahlah kita mendapatkan pendidikan itu?

Konsep pendidikan menurut W.P Napitupulu ialah kegiatan yang dilakukan secara sengaja, teratur dan terencana dengan tujuan mengubah tingkah laku ke arah yang diinginkan. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa hasil dari pendidikan itu tergantung dari niat dan keinginan pelaku dan pelaksana pendidikan tersebut. Jika keinginannya positif, otomatis hasilnya pun akan positif. Begitu pula sebaliknya, jika keinginannya negatif maka hasil yang akan dicapai nantinya akan mengarah kepada hal yang negatif. Oleh karena itu harus ada pengendali yang bisa dan siap menyetirnya.

Konsep pendidikan juga terdapat di dalam surah An-Nahl : 78 berbunyi :

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.”

Merujuk pada ayat di atas, manusia melalui pendidikan sebenarnya membuktikan diri sebagai makhluk paling sempurna dari sebelumnya yang hanya memiliki potensi. Tapi, setelah  memanfaatkan potensi tersebut, mengambil pelajaran dari mendengar, belajar dari mengalami dan melihat dengan bantuan kekuatan akal, pikiran, dan hati, manusia kemudian menjadi paham, mengerti dan memahami.

Dalam kehidupan bernegara, pendidikan mempunyai peran terpenting untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh negara tersebut. Indonesia sebagai suatu negara pun telah mendesain sistem pendidikannya sedemikian rupa demi membentuk generasi-generasi yang pancasilais agar masyarakat adil dan makmur dapat terwujud. Namun, tak bisa kita pungkiri bahwa problem dalam mencapai cita-cita negara saat ini semakin terlihat jelas dan seakan kita tak mampu menyelesaikannya.

Pendidikan tentang nasionalisme

Kita pasti sudah sering mendengar penyimpangan-penyimpangan luar biasa yang terjadi di negara ini, dan menariknya lagi perilaku penyimpangan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang notabene berpendidikan tinggi. Sebut saja pelaku kasus mafia pajak, juga tikus-tikus negara lainnya yang ikut menggerogoti keuangan negara. Mereka mayoritas alumni perguruan tinggi dengan kualitas yang tak perlu dipertanyakan lagi. Lalu, mengapa mereka masih saja berperilaku menyimpang? Sebenarnya apa yang keliru dalam sistem pendidikan kita? Apakah tindak penyimpangan seperti itu yang diajarkan di setiap perguruan tinggi? Saya rasa tidak seperti itu.  Lalu apakah sebenarnya yang keliru?

Untuk mewujudkan cita-cita negara menuju masyarakat yang adil dan makmur, seharusnyalah kita perkokoh terlebih dahulu rasa cinta terhadap negara ini. Nasionalisme harus selalu terpupuk agar ia tidak menjadi gersang apalagi mati suri. Ia harus menjadi karakter bagi setiap warga negara. Tapi bukankah karakter itu tercipta dari kebiasaan yang berulang? Dan bagaimana mungkin kebiasaan itu ada jika konsep tentang nasionalisme yang benar itu sendiri belum sepenuhnya dipahami. Oleh karena itu pendidikan akan nasionalisme sedapat mungkin diupayakan untuk tidak terhenti pada tingkat satuan pendidikan tertentu. Apalagi jika ia hanya sampai pada tingkat sekolah menengah atas.

Jiwa generasi muda yang masih labil sangat rentan terhadap pengaruh asing yang bertentangan dengan pancasila dan dasar negara kita. Mereka bisa saja menjadi hedonis dan pada akhirnya berevolusi menjadi manusia-manusia pragmatis dan oportunis. Jika nasionalisme tidak lagi menjadi pendidikan prioritas utama di perguruan tinggi, ditakutkan rasa cinta terhadap bangsa dan negara akan tereleminasi oleh budaya hedonis dan pragmatis yang nantinya hanya akan mencetak generasi-generasi korup.

Di atas telah saya tuliskan bahwa nasionalisme harus selalu dipupuk terus menerus tanpa henti. Sebagaimana telah kita ketahui, adakalanya perubahan sosial itu memunculkan masyarakat baru yang orientasi hidupnya lebih materialistis, lebih kapitalis, dan lebih sekularis. Mereka terbius oleh nafsu keduniawian secara berlebihan, menikmati hidup dengan bermewah-mewahan yang biasanya diperoleh dari hasil penindasan, korupsi serta manipulasi seperti apa yang ramai diberitakan media.Hal ini juga terjadi karena nasionalisme dan semangat pancasila sudah tak lagi dimiliki.

Pendidikan spiritual

Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat manusia semakin pandai menampilkan penemuan-penemuan baru.Semakin mampu mengenal peralatan yang mutakhir. Tapi, sangat disayangkan mereka menjadi bodoh dalam mengenal dirinya sehingga menjadi bodoh pula dalam mengenal Tuhannya. Tepat sekali Prof. Dr. A. Carrel, sarjana pemenang hadiah nobel itu mengatakan bahwa ilmu dan teknologi mendorong manusia pada kebiadaban. Hal ini terjadi karena kemajuan intelektual yang berlari sangat kencang tidak diimbangi dengan peningkatan tentang pengetahuan spiritual sehingga ia menjadi tidak terkendali dan membuat manusia mengalami kebobobrokan moral.

Berbicara tentang spiritual, hal ini tidak pernah terlepas dari peranan agama. Jadi, ketika pendidikan agama diberikan secara intens maka pengetahuan spiritual pun akan semakin terpacu dalam diri kita. Melihat realita yang ada, di tingkat sekolah dasar  hingga sekolah menengah atas hingga saat ini memang masih menyiapkan jatah untuk mata pelajaran pendidikan agama pada tiap semesternya. Akan tetapi, bagiannya hanya dua jam pelajaran per pekan yang otomatis hanya untuk satu kali pertemuan saja, sedangkan untuk mata pelajaran umum diberikan jatah empat hingga enam jam pelajaran. Lebih parah lagi di tingkat perguruan tinggi atau universitas, mata kuliah keagamaan terkadang hanya mendapatkan jatah dua hingga tiga SKS selama masa kuliah berlangsung, kecuali di universitas-universitas yang berbasis agama. Hal ini jelas menggambarkan ketidakseriusan pemerintah dan instansi-instansi terkait dalam menangani masalah aqidah warga negaranya. Padahal  ia adalah faktor terpenting yang harus terpenuhi.

Pendidikan tentang spiritual atau lebih tepatnya disebut bimbingan spiritual dan juga nasionalisme, seyogyanya merupakan hal yang tidak bisa dihilangkan pada setiap penyelenggaraan  pendidikan. Sebab, dengan kehadiran kedua konten tersebut di atas, sistem pendidikan Indonesia akan lebih berhasil membentuk generasi-generasi yang mampu membawa negara ini mencapai kehidupan yang adil dan makmur. Akan tetapi, jika spiritual  dan nasionalisme semakin tidak mendapatkan tempat di setiap sekolah dan perguruan tinggi, maka benarlah jika Mark Twain memisahkan antara konsep sekolah dengan pendidikan. Sebab, pendidikan seharusnya mengajarkan kita bertanggung jawab baik terhadap diri maupun lingkungan sedangkan sekolah yang tanpa pendidikan spiritual dan nasionalisme di dalamnya hanya akan menjadi tempat mengasah kemampuan intelektual yang nantinya akan membentuk manusia-manusia egois yang hanya memikirkan diri sendiri. Dengan begitu, cita-cita bangsa dan negara kita tercinta tak akan pernah bisa terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline