“Tidakkah kau ingin berkunjung ke rumahku?”
“Untuk apa, Aliah?” tanyaku.
“Bertemu ayah dan ibuku.” Kau menjawab. “Aku sudah siap, Arman.” Sambungmu.
“Siap untuk apa, Aliah?”
“Bukankah kau pernah bilang ingin menjadikanku kekasihmu. Datanglah melamarku. Aku siap kini.” Jawabmu.
“Tapi, bukankah waktu itu kau bilang kau tak bisa?” Heran aku.
“Iya, Arman. Dulu aku takbisa. Aku bersikukuh pada prinsipku bahwa suamiku nanti adalah kekasih pertamaku. Sekaligus yang terakhir.”
Aku terdiam mendengarmu, Aliah. Kau tak sama. Pikiranku yang salah. Selama ini.
“Aku juga ingin suamiku itu pulalah yang pertama kali mengecup keningku. Apa kau masih....”
“Iya, Aliah! Iya!” Kupotong kalimatmu.
Kau harus tahu, Aliah. Ini kali pertama. Kurasakan bahagia membuncah. Memenuhi hati. Memenuhi jantung.
Aliah! Aku jatuh lagi. Jatuh dalam telaga. Telaga paling dalam. Telaga cinta. Cinta terhadapmu, Kekasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H