Lihat ke Halaman Asli

PELITA

Pelita (Pesan Literasi)

Pulpen, Organisasi yang Keren

Diperbarui: 1 Februari 2020   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Terlahir di perkampungan secara tidak langsung menjadikan anda sebagai manusia yang jumud. Setidaknya begitulah persepsi sebagian masyarakat yang tinggal di perkotaan. Perkampungan adalah tempat  yang jauh dari kemajuan teknologi dengan cara hidup yang terikat oleh berbagai aturan adat. Sangat kuno. Belum lagi bekerja di kampung tidak menjamin hasil yang memuaskan karena gaji yang pas-pasan. Lantas, apa menariknya tinggal di perkampungan? Menurut mereka, untuk terlihat keren, setidaknya anda harus berhijrah ke kota.

Benar adanya, bahwa sebagian besar masyarakat kampung lebih memilih untuk meniti jalan perantauan. Hidup yang berkecukupan membuatnya harus memilih jalan itu. Tidak lain hanya untuk menafkahi sanak keluarganya. 

Bukan semata masalah ekonomi, minimnya fasilitas belajar-mengajar di perkampungan membuat para pemuda kampung yang haus akan ilmu pengetahuan rela angkat kaki dari tempat tinggalnya sendiri. Poin ke dua inilah yang masih dianggap sepele oleh pemerintah setempat. Jika segala pembangunan hanya terfokus pada properti tanpa membangun kemanusiaannya, maka masyarakat kampung akan semakin tertinggal jauh dari masyarakat kota.

Sangat berbeda dengan kondisi warga kota dengan segala kemajuan dan kemewahannya. Juga, semua fakultas-fakultas yang menjanjikan dan memadai  ada di sana. Bagi masyarakat kota, tentu akan sangat mudah untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki. Baik dalam hal ekonomi maupun dalam wilayah keilmuan. Semuanya memadai.

Namun, beberapa tahun silam, tepatnya saat bulan ramadhon, pondok pesantren yang saya tempati menimbah ilmu di Jakarta, mengadakan tabligh akbar untuk keliling Nusantara. Beberapa santri akan dikirim ke berbagai daerah dan pelosokan dalam rangka berbagi pengetahuan. 

Targetnya pun berbeda-beda. Mulai dari orang dewasa, anak muda dan juga ibu-ibu. Kala itu saya diamanahkan untuk membawa materi di bererapa tempat.  Mulai dari Gorontalo, Makassar dan Bantaeng. Semuanya masih tergolong tempat yang berbau dengan udara kota.

Tapi, kunjungan terkahir saya pada salah satu daerah di Polman, adalah sesuatu yang benar-benar lain.  Masuk ke wilayah perkampungan yang jauh dari bisingnya nyanyian kendaraan. Namanya Pakkammisan. Hal yang tak terduga sama sekali, disuguhi oleh sesuatu yang sangat berbeda. Beberapa anak muda di kampung itu datang beramai-ramai lengkap dengan buku catatan dan pena di genggamannya, ini adalah peristiwa yang langka. 

Sebab, tidak biasanya pemuda-pemuda kampung memiliki orientasi belajar yang tinggi. Kebanyakan hanya menyelesaikan studi sampai bangku SMA dan sederajatnya lalu mulai mencari pekerjaan. Alasannya sangat sederhana. Karna bekerja bagi segian orang lebih nyata ketimbang harus belajar dan memperdalam keilmuan.

Mulailah saya bertanya pada teman seperjuangan di pondok. Namanya Usman Suil. Beliau juga yang menjadi salah satu pendorong dan perintis di sana. Ini adalah sesuatu yang luar biasa bagi saya. 

Bagaimana tidak, untuk mengakali kebiasaan pemuda-pemuda kampung yang terbiasa hidup menghabiskan waktunya untuk sekedar nongkrong dengan alasan kebersamaan dan menyeretnya ke dalam lingkungan keilmuan yang terbilang kering dengan segala konsepnya, bisa dibilang mendekati hasil yang nihil.

Sempat saya terperanga manyimak cerita dari beliau. Sebab dia mengisahkan bahwa sebagian mereka dulunya adalah pemuda yang terbilang berandalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline