Lihat ke Halaman Asli

Pelita GMKI

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pelita GMKI

Siapa yang tidak mengenal kata pelita? Tentu semuanya sudah mengenalnya. Apa lagi ketika pada saat mati lampu, pelita selalu dicari untuk menerangi kegelapan tersebut. Pelita menjadi kebutuhan manusia yang tidak bisa dipungkiri. Ternyata sangat penting ya pelita ini. Bagaimana ya ketika tidak ada pelita yang menerangi kehidupan manusia? Wah... Tidak terbayangkan ya? Semuanya terasa gelap.

Andar Ismail dalam bukunya Selamat Berpelita (2011) menerangkan mengenai arti dan makna pelita bagi kita semua. Pelita dalam bahasa Ibrani disebut ner (Yun. lampas, bnd. Ind. lampu). Bentuk bagian perut mangkuknya melebar, sehingga berbentuk lonjong, bagian atasnya tertutup dan menyempit dengan lubang untuk mengisi minyak dan bagian depannya berparuh untuk ujung sumbu yang terbuat dari rami.

Minyak apa yang digunakan? Minyak yang berlimpah di Palestina purba adalah minyak zaitun yang terbuat dari buah zaitun yang ditumbuk atau digiling lalu diperas (lih. Im. 24:2). Minyak zaitun yang digunakan untuk pelita adalah perasan yang keempat atau kelima. Namun, kualitasnya masih baik. Pelita berbahan bakar minyak zaitun sama sekali tidak berasap dan tidak berbau, bahkan agak sedikit wangi. Di dalam rumah pelita diletakkan diatas kaki dian, yaitu semacam meja kecil yang tinggi. Dan, pelita biasanya menyala selama enam sampai delapan jam, dengan lidah api yang berkelap-kelip menyinari kegelapan.

Untuk pemazmur pelita adalah kebutuhan mutlak. Mana mungkin ia berjalan di luar rumah tanpa pelita? Tanpa pelita kakikanya akan terperosok ke lubang atau tergelincir ke parit. Di rumah ia juga memerlukan pelita. Tanpa pelita ia akan tersandung pada kaki meja atau terbentur pada tembok. Lagi pula, mana mungkin ia membaca dan menulis tanpa pelita? Pada hal tiap malam ia membaca dan menulis.

Andar juga menjelaskan pada kita, bahwa pamazmur selalu ditemani oleh pelitanya disaat membaca gulungan kitab-kitabnya, ia duduk dengan tenang dan mulai membaca sambil memandangi pelitanya. Nyala api itu menyinari kegelapan di sekitar meja. Pelitaku ini seperti firman Allah yang menerangi. Eh, terbalik. Firman Allah adalah seperti pelitaku. Bukan, bukan seperti, melainkan adalah “FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm. 119:105).

Pemazmur sangat bersyukur ada pelita yang selalu menemaninya. Disaat udara malam yang begitu dingin ada pelita yang menghangatkannya. Sambil membaca kitab-kitabnya, pelita hadir dengan cahayanya lalu menerangi dan menemani kehidupan pemazmur. Wah, ternyata bukan pelitanya yang memberikan cahaya. Salah. Tetapi, “Karena Engkaulah yang membuat pelitaku bercahaya; TUHAN, Allahku, menyinari kegelapanku”(Mzm. 18:29).

Pelita juga favorit GMKI ya? Ya. Sebelum kami melakukan gerakan, kami harus melahapnya. Kalau lapar kan tidak berpelita alias gelap. Kalau gelap, pemazmur tadi kan  tidak bisa membaca dan menulis. Sama juga dengan GMKI. Kalau pelitanya tidak ada, apakah disebut GMKI?  Kan tidak. Pastinya GMKI suka melahap pelita alias Firman Allah. Maka dari itu, nama ku “Pelita GMKI.” Apanya yang berpelita? Keadilan dan kebenaran-Nya agar dunia ini berpelita. Selamat ya. Solideo Gloria.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline