“Injil yang kita beritakan bukanlah Injil Yesus Kristus jika tidak berpihak pada mereka yang menjadi korban perbuatan dosa—kaum miskin dan tertindas” Albert Nolan.
Partisipasi Kristen khususnya pemuda dalam kancah perpolitikan Indonesia harus matang dan bijak. Apalagi ditengah kemelut yang serba kompleks dibutuhkan keterlibatan secara politis sebagai pewartaan Injil. Hal demikian tentunya ditentukan pemahaman teologi, baru pergumulan sosial-politik. Sebelum sampai kesitu pembinaan warga gereja khususnya pada pemuda adalah hal terpenting. Sebab kepedulian akan pemahaman politik sangat jarang dilakukan. Selanjutnya pengadaan pertemuan-pertemuan yang membahas kondisi sosial-politik (kebangsaan) terhadap pemuda. Penulis sendiri melihat itu dari kaca mata sendiri sebagai pemuda. Gereja masih melihat kaum muda hanya sebagai penonton pada suasana politik. Denganbegitu tindakan politisnya masih asing dan kaku. Apalagi bagi pemuda gereja yang berdomisili dipedesaan. Dalam hal ini pemuda juga masih dilihat sebagai objek gereja (pemimpin/mejelis gereja) dalam pelayanan. Sudah selayaknya pemimpin/mejelis gereja mempersiapkan kader-kader demi menyongsong gerakan politik yang matang dan penuh persiapan tadi (berkarakterkan Injil).
Bagaimana mungkin pemuda gereja bisa berperan aktif dari tempat dan dimana pemuda itu berada jika pembinaan pemuda belum dilihat sebagai hal yang esensial terhadap pembaharuan gereja, masyarakat dan negara – wilayah Injil untuk diberitakan. Istilah ini lebih dikenal dalam organisasi yaitu kederisasi dalam spektrum iman Kristen. Tentu bila dipertanyakan kepada pemuda Kristen dari segi politisnya akan bingung malahan tak berdaya. Terutama pada masyarakat desa/pelosok. Hal ini ditemukan penulis ketika berdiskusi mengenai wahana politik dan peran sertanya sebagai pemuda Kristen yang bertanggungjawab. Tidakkah ini memiriskan teologi gereja akan dinamika politik yang bisa menghanyutkan gereja sendiri jika pemuda tidak dilihat sebagai subjek pembangunan gereja dan politik. Walaupun pada area tertentu (semisal perkotaan) sudah matang dari segi politisnya.
Keterlibatan pemuda masa kini di era globalisasi – semangat yang muncul lebih sering berorientasi terhadap “penggemukan pribadi” ketimbang mengembangkan nilai-nilai komunal. Pemahaman teologis bahwa politik bukanlah jahat ketika dijalankan dengan benar. Politik Kristen adalah politik melayani. Hal demikian perlu melihat pemikiran J. Leimena yang mengatakan “Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani”. Tentunya dasar berpikirnya dibangun diatas Injil, bukan seperti pemahaman teologi yang konservatif yang menyebutkan politik itu kotor dan pemahaman hanya “mengerti aspirasi-aspirasi persatuan bangsa Indonesia.” Mengingat pemahaman dari golongan konservatif dan yang mengerti aspirasi-aspirasi sesungguhnya menjadi fenomena teologi yang sangat ironis akan hal-hal politis. Saya pikir ini akibat dari pemahaman zending atas teologi pietis – akhirnya mengobrak-abrik Injil dan semangat gerakan kebangsaan. Senada dengan itu, permasalahan akan peran serta pemuda dalam gerakan politis yang sudah dipaparkan diatas juga dipaparkanHutauruk menyangkut konsep teologis yang berorientasi terhadap kebutuhan individual atau perorangan. Hutauruk dengan mengutip tulisan T.B. Simatupang dari kaca mata teologi, adalah berasal dari pemahaman “teologi pietis yang lebih dominan pada waktu itu, yang pemahamannya tentang agama Kristen berpusat pada perorangan, kepada ‘kehidupan rohani’, kepada dunia baka. Tentu konteks pergumulan diatas dewasa kini memang menjadi perbincangan teologi gereja yang harus dikristalkan dalam konteks politik atau kebangsaan.
Apakah Kiprah Pemuda Hanya dalam Sejarah?
Lacak sejarah ditemukan pada kiprah pemuda Kristen dalam ruang dan waktu sebagai implementasi iman mereka. Gerakan pemuda Kristen bermula diawali dengan munculnya gerakan nasionalisme pada awal abad ke-20 seperti organisasi Budi Utomo (1908). Merupakan hal penting yang perlu di ingat generasi muda sekarang atas keterlibatan pemuda Kristen pada Sumpah Pemuda 1928 (a.l. J. Leimena, Amir Sjariffoeddin Harahap) bahkan kemerdekaan Republik Indonesia (1945).
Menjelaskan hal diatas, pemuda Kristen yang tergabung dalam kemerdekaan Republik Indonesia tentu sangat berlelah-letih. Kecintaannya terhadap bangsa Indonesia bukan sekedar wacana tanpa tindakan. Dimasa pendudukan Jepang yang sangat kejam gelora perjuangan dan kesatuan adalah titik berangkat menghadapi kebijakan politik Jepang, malahan organisasi Kristen seperti Christelijke Studenten Vereniging (CSV) op Java secara “praktis organisatoris” berhenti 1942 tetapi bila untuk kesejahteraan rakyat tidak bisa dibendung. Artinya masih tetap melakukan gerakan pembaharuan pada area penindasan penjajah. Gerakan politis pemuda Kristen yang memang tidak diragukan lagi telah berjalan dengan baik dan benar. Meminjam pemahaman Sabam Sirait “politik itu suci”, saya pikir ini lah kesucian politik itu. Berjalan sesuai mandat Allah. Yaitu dengan melihat gerakan politis nabi Yeremia yang mem-firmankan “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7). Melihat itu, jika kita berhermeneutik dari teks Yeremia ini dalam konteks Indonesia (baca: gerakan pemuda masa Jepang) bisa kita golongkan terhadap tindakan pemuda yang bertindak mensejahterakan kota ‘polis’ saat itu. Pada hal gerakan tersebut yang sudah dibombardir Jepang, “namun demikian pertemuan secara terselubung antara sejumlah anggota-anggotanya masih juga dilakukan, seperti: menyelenggarakan Hari Doa sedunia.” Selain itu mahasiswa/pemuda Kristen memberikan diri “mengikuti dinamika politik semasa Jepang, baik yang masih kuliah atau pun tidak” sampai kemudian terdengar bahwa Proklamasi akan dilakukan. Maka gerakan pemuda, ikut juga pemuda Kristen mengawasi jalannya Proklamasi. R.Z. Leirissa menyebutkan itu bahwa “Ketika Proklamasi benar-benar dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus, rombongan Ikadaigaku (sekolah kedokteran) hadir dibawah pimpinan Piet Mamahiet. Sebagaian lagi bersiap-siap di asrama karena ada kesepakatan bila rencana di Pegangsaan Timur itu gagal, maka Proklamasi akan dilakukan oleh para mahasiswa di Prapatan 10. Untuk itu, antara lain O.E. Engelen ditugaskan menjaga telepon dari rombongan Mamahiet”. Pemaparan Leirissa diatas, jelas pemuda Kristen saat itu ikut dalam gerakan kebangsaan. Mereka tidak ketinggalan mengawasi tindakan politik Jepang yang sangat menindas rakyat. Melihat kiprah pemuda Kristen saat penjajahan kolonial Belanda dan Jepang, apakah itu hanya menjadi “nostalgia” sejarah saja?
Relasi Pemuda dalam Konteksnya
Membangun relasi pada konteksnya bisa dipahami adalah tindakan yang harus ditumbuh-kembangkan. Karena dengan memahami konteks pemuda akan dapat menyampaikan gerakan politisnya. Pemuda harus melihat kebijakan-kebijakan politik yang diterapkan pada setiap dimana pemuda berada dan bermasyarakat melalui analisis-analisis. Sikap begini tidak lain menemukan apakah kebijakan politik sudah berada pada koridornya atau belum. Mengedepankan nilai-nilai sosial melalui keramah-tamahan atau kepedulian sosial pemuda akan kondisi sosialnya adalah bahagian bentuk politik Yesus. Halnya dengan Yesus selalu hadir dan mendengar keluh kesah orang-orang dimana Dia berada – dapat menemukan fakta-fakta sosial akan diskriminasi yang telah dilakukan pemerintahan Romawi (bnd. Luk. 4:18-19). Penerapan akan sistem politik yang ada saat itu adalah perlawanan bagi Dia. Yesus tidak tinggal diam akan sistem-sistem yang minindas. Dengan kata lain sistem politik yang memasung rakyat adalah tindakan melawan nilai-nilai Kerajaan Allah. Kuasa kejahatan haruslah dilawan dengan menjadikan Injil sebagai dasar yang kokoh tanpa ada kompromi. Dengan memberikan diri pada kehidupan konteksnya, jelas merupakan wujudnyata politik belas kasih Yesus.
Menjalin relasi dengan konteksnya diperlukan jalinan yang akrab akan masyarakatnya. Itu dapat terwujud jika ada keterbukaan. Hal demikian dituliskan Andre Ata Udjan, bahwa “hanya dengan keterbukaan untuk berbicara satu sama lain secara beradab berbagai kepentingan berbeda dapat diakomodasi secara fair.” Tindakan kepedulian akan kondisi masyarakatnya adalah merupakan partisipasi politik. Jika hal yang tidak lagi berada pada koridornya, perlu ditagih kewajiban politiknya. Bila perlu ketika politikus itu sebagai Kristen, tentu gereja bisa memberikan surat penggembalaan. Lebih jelasnya dapat saya katakan, ketika pemerintah atau pun legislatif, presiden, dll, lupa dan melupakan akan tugas panggilannya, tentu gereja harus mengingatkannya kembali.
Gereja sebagai organisasi Kristen harus menyampaikan suara kenabian demi kepentingan banyak orang. Terkhususnya orang muda dalam hal ini harus melihat itu tanggungjawabnya.
Perjuangan dalam pergerakan nasional bukan saja hanya sebagai bacaan narasi seperti diatas. Diperlukan refleksi teologis yang kemudian menjadi dasar nilai untuk berpolitik dalam menyabut pesta demokrasi yaitu Pemilihan Umum 2014. Memberikan kiprah (seperti: mengawasi proses pemilu, mengambil bagian dalam pemilu, menampung aspirasi masyarakat, dll) dalam Pemilu 2014 merupakan semua tanggungjawab umat beragama demi kemajuan bangsa Indonesia. Meliputi keadilan, kedamaian, kesejahteraan dan keutuhan ciptaan. Semua itu adalah nilai-nilai kerajaan Allah yang harus dilakukan manusia.***
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Kristen. Penulis adalah pandu Sidang MPL PGI 2014 dan anggota GMKI Cabang Medan.
Bnd. Fridolin Ukur, Jerih dan Juang, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, hlm. 262-263
R.Z. Leirissa “Biografi Dr. J. Leimena”, dalam Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995, hlm. 32-33
J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja : Penelitian Historis-Sistematis Tentang Gerakan Kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam Kancah Pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan di Indonesia, 1899-1942, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, xv.
R.Z. Leirissa, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dalam Gejolak Perubahan dari Zaman ke Zaman, Jakarta: PP GMKI, 2006, hlm. 29
Lebih jelasnya lihat ibid, hlm. 32-33
Andre Ata Udjan, “Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama”dalam Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama, Jakarta: Obor, 2008, hlm. 5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H