Bukan orang Bandung kalau tidak mengenal kuliner bala-bala. Makanan berbentuk gorengan ini menyasar semua lapisan masyarakat. Baik sekelas tukang becak, kuli bangunan, pegawai negeri, sampai manajer bank, kalau tinggal di Bandung pasti tergoda dengan bala-bala.
Bala-bala cocok dikonsumsi di segala kondisi. Mau cuaca dingin atau sedang panas, makan bala-bala tetap enak. Mau disantap di pinggir jalan, dimakan sambil nongkrong di kafe, rapat di kantor atau meeting di hotel, hidangan bala-bala selalu menggoda.
Banyak juga masyarakat kelas bawah yang menjadikan bala-bala sebagai teman sarapan. Mereka merasa nikmat makan nasi dengan bala-bala sebagai lauknya. Apalagi untuk teman ngopi, bala-bala sangat cocok. Lihat saja bapak-bapak yang nongkrong di pos ronda, sambil main gaple malan hari, pasti ada suguhan bala-bala.
Sementara karyawan kantor, tidak jarang memesan bala-bala ke kantin sebagai cemilan di meja kerjanya. Ada juga yang sengaja pesan bala-bala dalam jumlah banyak untuk dimakan ramai-ramai. Makan bala-bala bisa membuat suasana bahagia, seakan bisa menghilangkan masalah.
Saking sudah memasyarakatnya bala-bala di Bandung, nanti jangan heran pula kalau gorengan itu menjadi makanan awal buka puasa di Bulan Ramadan. Pun demikian saat makan sahur, banyak ibu-ibu yang sengaja membuat bala-bala biar anak-anaknya semangat bangun dini hari.
Juru masak di rumah makan dan hotel juga harus memahami, jika banyak pengunjung yang menanyakan bala-bala. Di event-event tertentu, seperti buka bersama, pemesan tempat kadang request untuk dibuatkan bala-bala kepada pengelola rumah makan atau hotel.
Tapi kenapa kuliner jenis gorengan ini sampai bernama bala-bala. Kesannya seperti sampah berserakan, karena bala (yang dalam bahasa Sunda berarti kotor). Banyak yang bercerita, bala-bala memang awalnya tidak jauh dari sampah (bala).
Konon dulu ada pedagang sayuran di Pasar Sederhana. Dia menjual kubis (kol), wortel, bawang daun, bawang merah dan bawang putih. Tidak setiap barang dagangannya habis terjual. Selalu saja ada yang tersisa. Lantas busuk dan jadi sampah.
Agar tidak mubazir dan terbuang percuma, pedagang tersebut akhirnya mengeluarkan ide kreatif. Sayuran sisa itu, tidak langsung dibuang tapi dicacag-cacag (dipotong/diiris) hingga dalam bentuk kecil. Potongan kecil dari kol, wortel, dan bawang daun, dia manfaatkan untuk campuran tepung terigu dan dijadikan gorengan. Sebagai penyedap, dia tambahkan pula bawang putih, bawang merah, dan merica.
Dari sanalah muncul isttilah, ketimbang sayuran sisa jadi bala (kotor) lebih baik dimanfaatkan untuk bahan baku campuran tepung terigu dan jadilah gorengan. Ternyata makanan itu cocok jadi cemilian masyarakat sekitar pasar dan stasiun Bandung. Kemudian dengan cepat tersebar dan untuk memudahkan penyebutan gorengan itu, masyarakat memberi nama bala-bala.
Kini bala-bala tidak bisa terpisahkan dengan masyarakat Bandung. Di setiap sudut banyak pedagang gorengan bala-bala. Warung, kantin kantor, kantin sekolah, kafe, restoran, hingga hotel menyiapkan menu bala-bala.