Lihat ke Halaman Asli

Bungaria Sembiring, di Jelang Masa Akhir

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1338472495612635173

[caption id="attachment_191793" align="alignnone" width="500" caption="Bungaria menyanyi lagu tradisi dalam sebuah acara amal di Medan"][/caption] Hujan masih menderas, jam menunjuk pukul 8 malam. Tuak beredar di atas meja, cangkir-cangkir berbuih. Semua mengeluhkan hujan yang tak henti sejak tadi siang. Para lelaki mengeluh sambil menghembuskan asap rokoknya. Sesekali menoleh ke gerbang café menanti kedatangan sang penyanyi, Bungaria Sembiring (46 tahun). Body montok, wajah yang mengkerut, tangan yang keriput tidak mengurangi pesonanya sebagai penyanyi di Café Har Har, Medan.

Terdengar suara becak melaju masuk ke halaman café, sang Bunga turun. Rupanya, putranya yang baru saja memberinya cucu yang mengantar. Para lelaki langsung riuh menanyakan kabarnya. Senyum manisnya dilempar kepada semuanya. Seorang pria memberinya tempat duduk dan menuang minuman untuknya. Sementara, di bagian dalam, pemain keyboard sedang menyiapkan peralatan sound system sebelum Bunga bernyanyi. Saya mengamatinya sedang meramu daun sirih untuk dikunyah. Sambil mengunyah daun sirih dia mulai menghisap rokoknya. Masih nampak sisa kecantikan di wajahnya.

Aku mendekat, memintanya meramukan daun sirih untukku.

“Kak, kenapa tangannya?” Kataku sambil menjaga agar ludah merah tidak muncrat dari mulutku.

“Aku sedang berburu dengan waktu menanam padi di sawah yang aku sewa kemarin. Takut musim hujan berlalu. Lumayanlah buat nambah beras. Tadi tergores rumput,” kisahnya sambil memutar suntil di bibir. Dia sudahi sirihnya sambil memuntahkan ludah merahnya menuju panggung tempat bernyanyi. Pelayan café menyelipkan beberapa kertas di tangannya yang berisi lagu permintaan para tamu.

*****

Di jamannya, Bungaria adalah penyanyi tradisi Karo yang cukup terkenal. Penyanyi tradisi seperti dia biasa disebut perkolong-kolong. Suaranya yang sangat kental untuk lagu-lagu tradisi, wajah cantik dan bodynya yang menjulang membuatnya menjadi idola pada masanya. Penyanyi seperti dia biasanya dipanggil dalam setiap acara pesta tahunan. Kedatangannya biasanya disertai serombongan pemusik tradisi. Jika sedang musim pesta tahunan, mereka bisa berkelana selama satu bulan dari satu desa ke desa yang lain. Posisi pemusik dan penyanyi tradisi bagi masyarakat Karo sama seperti dukun. Mereka diperlakukan terhormat dan mendapatkan layanan kelas satu.

Bayaran yang mereka terima juga tidak main-main. Untuk pertunjukan semalam suntuk mereka bisa mengantongi jutaan rupiah. Semakin terkenal perkolong-kolong yang ditanggap, semakin mahal bayaran yang diterimanya. Sayangnya, di puncak karirnya, di usia muda, Bungaria memutuskan menikah dengan seorang gitaris band Karo yang juga cukup terkenal pada masanya.

Pernikahannya ditentang oleh keluarga dan sahabat-sahabatnya. Sang Bunga muda menetapkan hati menjalani hidup baru dengan lelaki pilihannya. Sungguh bahagia sang pengantin muda remaja. Pernikahan mereka membuahkan 6 orang anak. Sayangnya, suami yang dibanggakannya ternyata mendua hati dengan perempuan lain. Melenggang santai meninggalkan biduk rumah tangga dan lari ke pelukan perempuan lain.Tertatih-tatih Bunga membesarkan 6 orang anak yang masih kecil-kecil.

Persaingan panggung tradisional tak kalah kerasnya dengan artis nasional. Penyanyi muda bermunculan, salah sedikit melangkah langsung tersingkirkan. Belum lagi intrik-intrik yang tidak masuk akal tapi mempengaruhi masa depan. Bungapun terdampar bernyanyi dari café ke café demi mendapatkan uang membesarkan anak-anaknya.

Penderitaan ternyata tidak menyurutkannya untuk berkarya. Penghasilannya yang pas-pasan disimpan dengan harapan suatu saat bisa rekaman kembali sebagai jalan kembali ke panggung musik tradisi. Beberapa tahun lalu impiannya terwujud di sebuah studio lokal. Sayang seribu sayang, modal yang pas-pasan tidak bisa menelurkan album. Hanya berwujud master record.

“Aku berusaha mencari pemodal yang mau bekerjasama, aku yakin lagu-lagu ini bisa diterima masyarakat. Kemarin itu ada sih, kandidat bupati yang menjanjikan membantuku untuk mewujudkan rekaman ini, tapi sekarang sepertinya dia sudah lupa,” katanya lirih.

Pernah kami berkunjung ke rumah kontrakannya yang bekas kamar hotel yang sudah tidak laku. Tidak ada listrik, penerangan hanya lilin dan lampu teplok. Hujan deras sejak sore membuat jalanan licin, apalagi tak beraspal. Begitu kami datang, dia menggelar tikar di teras bersebelahan dengan kandang itik. Kami menawarinya bernyanyi di sebuah panggung amal untuk pengumpulan dana pengungsi Sinabung. Dia langsung tertarik tanpa banyak bertanya soal honor. Beberapa kali kami menawari pertunjukan serupa dan dia selalu semangat.

Tantangan hidup tampaknya belum berakhir bagi Bunga. Hari-harinya kini, selain mencukupi kebutuhan keluarga, dia juga harus merawat suaminya yang sudah stroke setelah opname berhari-hari di rumah sakit. Mengapa masih mau merawat laki-laki yang sudah membuatnya menderita?

“Aku tidak tega lihat anak-anak. Biar bagaimanapun dia masih ayah mereka. Anak-anak yang sudah bekerja turut urunan membantu perobatan ayahnya. Bagaimana saya mau menolak?” katanya. Sementara, istri mudanya menghilang begitu saja.

Baru-baru ini dia mengabari akan pindah rumah. Rumah kontrakan yang bekas kamar hotel itu telah terjual.

“Sebenarnya masih boleh tinggal di situ karena belum dipakai semuanya. Tapi, kami selalau kebanjiran kalau hujan. Nantilah aku kabari alamat yang baru,” katanya lewat telepon.

*****

Musik di café masih terus berdentang. Suara Bunga yang sexy masih melantunkan lagu Karo jadul. Para lelaki yang sudah dipuaskan dengan lagunya memberikan tips ke tangan Bunga. Penampilannya diselang-selingi penyanyi muda yang biasanya membawakan lagu-lagu dangdut dalam tempo house music. Pada masa pergantian inilah Bunga beristirahat, kembali mengunyah sirih dan menghisap rokoknya.

Melihatnya menatap gerbang café, aku terbayang ketika suatu ketika melihatnya menari. Tidak hanya suaranya yang dipuja, Bunga juga penari tradisi yang sangat luwes. Tariannya bisa menggambarkan berbagai bunyi alat musik tradisi. Kakinya seolah turut memalu gendang, tangannya seiring dengan melodi. Musik seakan tervisualisasi lewat tariannya. Saya pernah melihatnya mengajari seorang penari muda yang masih awam dalam tarian tradisi. Badannya yang sudah melar tak terlihat, seolah dia tak menjejakkan kaki melangkah ke sana kemari. Seringan kapas dia melangkah dan meliukkan tangan.

Ah…  tetapi suasana meriah terus berlangsung. Barangkali, Bunga sudah melupakan dirinya pernah menjadi penari dan penyanyi tradisi yang terhormat. Bunga menjalani hidupnya dengan pasrah dan selalu berusaha riang.

“Ah, hidup sudah susah, kenapa pula kita harus selalu terseret dalam kesedihan? Nanti malah tidak bisa lagi kerja cari uang,” ujarnya.

Malam terus merayap menuju pagi. Jam menunjuk Pukul 2 pagi. Bunga bersiap kembali ke rumah, menanti putranya menjemput dengan beca mesin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline