Lihat ke Halaman Asli

Kopi Aren, Kopi Tanpa Gula Khas Aceh Tenggara

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1430823200249798012

“SILAKAN, Pak. Ini kopinya,” ujar seorang perempuan muda sembari menyodorkan kopi dalam gelas putih.

Kuterima kopi itu sambil tersenyum. Bukan hanya aku, beberapa temanku dari Banda Aceh juga mendapat suguhan kopi khas Aceh Tenggara tersebut. Kami menikmati kopi itu di aula SMK N 2 Kutacane. Kebetulan hari itu, Selasa (5 Mei 2015) adalah hari pertama pembukaan “Bengkel Sastra” yang digelar oleh Balai Bahasa Aceh. Kegiatan tersebut memang dipusatkan di aula SMK N 2 Kutacane.

“Wah, harum kopinya ya?” kataku.

“Ini namanya kopi aren, Pak. Khas kopi daerah sini,”sahut seorang lelaki di sebelahku. Namanya Budi Indra, guru SMA 1 Darul Hasanah, Aceh Tenggara. Adapun perempuan yang menyuguhkan kami kopi aren tadi juga salah seorang guru.

Tidak lama berselang, kisah tentang kopi aren pun mengalir jadi buah bibir di antara kami. Kata Budi, disebut kopi aren karena air kopi tersebut merupakan perpaduan biji kopi dengan air nira (aren).

“Kopi ini tidak pakai gula, dia memang sudah manis. Namanya saja kopi aren,” ucapnya.

Seduhan pertama air kopi tersebut, ujung lidahku langsung merasakan sensasi kenikmatan air ijuk. Bedanya, air ijuk yang sudah bercampur rasa biji kopi. Manisnya tidak seperti manis gula. Aku agak ragu harus memberi nama air ini, apakah air kopi campur aren atau air aren campur kopi. Jelasnya, masyarakat Aceh Tenggara menamainya dengan kopi aren.

14308234201623183373

Aku hanya bisa menegaskan kalau kopi aren ini punya khas tersendiri, sangat berbeda dengan kopi luwak, kopi late, white kopi, atau kopi apa pun. Kopi aren punya kenikmatan fantastis yang sensasinya hanya bisa dibedakan oleh mereka penikmat kopi.

Cerita kemudian mengalir pada muasal aren. Kata Budi, masyarakat Alas di Aceh Tenggara punya cerita sendiri tentang muasal aren. Ia pun mengutip sedikit muasal aren menurut cerita rakyat yang berkembang di Aceh Tenggara.

“Zaman dulu ada seorang raja yang ingin meminang seorang perempuan cantik di kampungnya. Perempuan itu bernama Putri. Sementara itu, si Putri sudah punya tambatan hati. Namun, orangtua Putri tidak kuasa menolak permintaan raja, karena keluarga mereka terlilit utang pada raja tersebut. Akhirnya, si Putri minta tubuhnya dicincang kecil-kecil, lalu bahagian tubuhnya diserahkan kepada raja. Setelah dicincang, ternyata tubuh Putri berubah menjadi sesuatu yang sangat berguna. Ada bahagian yang menjadi air, ada yang menjadi lidi, ada yang menjadi buah, dan sebagainya,” kata Budi mengisahkan tentang Putri Aren.

Jadi, lanjut Budi, masyarakat Alas sudah mengenal aren sejak zaman dulu kala. Sejak dahulu, pemanis yang digunakan oleh masyarakat Alas, kata dia, dari aren. “Itu yang namanya gula aren itu. Buat kopi, air manis, semua pakai aren. Hanya saja sempat tenggelam pemanis aren ini sejak kita mengenal pemanis pabrik. Syukurnya, sekarang sudah mulai dibangkitkan kembali aren sebagai pemanis kopi dan teh sehingga ada namanya kopi aren dan teh aren,” ucapnya.

Elvi, pegawai dari Dinas Pendidikan Aceh Tenggara yang juga hadir bersama kami hari itu, menambahkan, kopi aren sangat bagus untuk kesehatan. “Kopi ini kan tidak pakai gula. Sangat baik bagi kesehatan apalagi untuk mereka yang kena penyakit gula dan kencing manis. Manisnya kopi ini manis alami, karena tidak pakai gula pabrik,” ujarnya.

Tidak puas menikmati kopi aren di Aula SMK itu, selepas makan siang kami dibawa oleh Budi Indra ke Bukit Cinta. Bukit itu merupakan sebuah lokasi tempat nongkrong para remaja. Di sana banyak kafe. Salah satu kafe tersebut milik Budi. Ia membawa kami ke kafenya dan di sana kembali kami disuguhi kopi aren. Beberapa di antara kami mencoba teh aren. Porsi yang kami dapatkan di kafe ini dalam gelas lebih besar.

“Kalau tak habis kopimu, tuang ke gelas saya,” kata Musmarwan Abdullah. Cerpenis Aceh itu merasa masih kurang dengan kopi yang ia dapatkan meskipun gelas kami sama besarnya. Ia mengambil kopi di gelas saya dan menuangkannya ke dalam gelasnya lagi. Tak lama kemudian, ia pun merebahkan punggung di panteue kafe tersebut sambil berucap, “Nyoe biet-biet kupi! Teuingat-ingat teuh sabe”(Ini baru kopi! Teringat-ingat terus kita dibuatnya).

Herman RN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline