[caption id="attachment_125393" align="alignleft" width="273" caption="Para penulis di Aceh buka puasa bersama di Sekretariat Wushu Aceh, 17 Ramadan 1432H"][/caption] Sekretariat Wushu Aceh di Jl. P. Nyak Makam, Lampineung, Banda Aceh didatangi satu per satu lelaki dewasa. Usia mereka bervariasi, ada yang masih tercatat sebagai mahasiswa, ada yang sudah berkepala tiga. Demikian status sosial, ada dosen, guru, akademisi, bahkan wiraswasta—nama lain untuk menyebut orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
Kendati berlainan profesi dan usia bervariasi, mereka tetap menyandang predikat “penulis”. Bersebab mereka tinggal dan menetap di Aceh, meskipun sebagian kecil lahir di luar Aceh, mereka tetap disebut atau menyebut diri sebagai “Penulis Aceh”. Tidak diketahui secara pasti mengapa penulis perempuan tidak serta dalam forum tersebut.
Agenda buka puasa bersama penulis itu diinisiasi oleh beberapa orang, di antaranya Yuli Rahmad dan Nurkhalis M Kasim. Keduanya merupakan penulis muda yang sekarang menetap di Banda Aceh. Mereka menyebarkan undangan melalui grup facebook sejak beberapa hari lalu.
Tentu saja prestasi luar biasa, meksipun undangan hanya melalui jejaring facebook dan jelas diterakan infaq Rp20 ribu per orang, tetap banyak penulis yang datang. Sebut saja di antaranya Risman A. Rahman, penulis dan peneliti the Aceh Institute; Saifuddin Bantasyam, Dosen Fakultas Hukum Unsyiah; Helmi N Hakim, Hilal Nashruddin, Muhadzdzier M Salda, Fakhrizan Juli, dan tentu saja masih banyak lagi yang tak mungkin disebutkan satu per satu.
Empat puluh menit menjelang waktu berbuka, para penulis yang selama ini hanya kenal satu sama lain melalui media tulisan itu diminta memperkenalkan diri mereka. Siapa yang memperkenalkan dirinya diberikan kesempatan untuk bercerita sekilas tentang proses kreatifnya secara singkat atau sekadar memaparkan pandangannya terkait kondisi kepenulisan di Aceh.
Perkenalan dimulai dari inisiator acara, Yuli Rahmad. Dalam perkenalannya, mahasiswa Unsyiah itu mengaku banyak belajar secara tidak langsung melalui sejumlah tulisan yang penulisnya hadir di sana hari ini. Berikutnya perkenalan diri mengikuti arah jarum jam.
“Saya bukan penulis, tapi saya senang membaca apalagi tulisan-tulisan tentang Aceh,” ujar seorang lelaki berpostur tegap yang duduk di meja bagian sudut selatan.
Giliran ia memperkenalkan diri, semua mata tertuju ke sana, karena ia memulainya sebagai ‘bukan penulis’. “Saya memang tidak diundang dalam pertemuan ini, tapi karena kecintaan saya pada tulisanlah yang membuat saya hadir di sini,” tambah mantan Anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu.
Ia mengaku menggunakan nama facebook dengan “Bang Prosa”. Kemudian lelaki itu menceritakan identitasnya sekilas. “Saya ini pembunuh, yang sekarang mencintai tulisan daripada senjata. Masa konflik Aceh, banyak orang yang saya bunuh atau saya perintahkan untuk ditembak. Saya merupakan salah satu orang yang mendengar langsung petuah Wali, tetapi tidak mematuhi petuah tersebut. Tentu saja saya sedih. Karena itu, saya malu menyatakan diri saya sebagai pejuang seperti digembar-gemborkan kawan-kawan saya yang sudah di DPR maupun di posisi politik lainnya itu.”
Wali yang dimaksud oleh Bang Prosa adalah Hasan Tiro. Bang Prosa selanjutnya menuturkan bahwa dirinya insaf bahwa banyak kesalahan yang ia lakukan semasa memperjuangkan Aceh masa konflik bersenjata. Oleh karenanya, ia saat ini lebih memfokuskan diri sebagai masyarakat biasa yang mencintai dunia tulis baca.
“Tolong doakan saya. Saya sedang berusaha menulis juga. Saat ini saya sudah mempersiapkan sebuah buku sejarah Aceh masa konflik sesungguhnya, seperti yang saya alami dan saya saksikan sendiri. Buku ini rencananya saya beri judul ‘Panglima Tak Berpistol’ yang sempat masuk ke redaksi Gramedia, tapi Gramedia kesannya masih takut dengan isi buku tersebut sehingga belum terbit,” ungkapnya.
Lelaki bernama asli Fadli ini juga menyebut dirinya sebagai “Petrus”, tetapi bukan ‘Penembak Misterius’. “Saya memang Petrus, karena masa konflik saya melakukan apa saja bahkan sampai membunuh demi mengisi perut. Jadi, Petrus itu maksudnya saya ini orang yang berpikir bagaimana ‘Perut Terisi Terus’. Hahaha..” kata lelaki yang mengenakan kaca mata di ubun-ubun itu berkelakar.
Begitulah sekelimut cerita dalam buka bersama penulis Aceh di Banda Aceh. Tentunya ada banyak kelakar lain menjelang buka puasa itu, misalnya saja soal kecurigaan perkumpulan penulis tersebut jangan sampai tercium atau ada indikasi suksesi salah satu calon pemimpin Aceh kedepan. Maklum, Aceh tak lama lagi akan menggelar pesta demokrasi pemilihan pemimpin. Di antara penulis yang hadir, tercatat pula sebagai tim sukses, baik untuk gubernur maupun untuk bupati.
Terlepas dari itu semua, buka puasa yang turut dihadiri anggota dan pengurus Wushu Aceh dan Wushu Aceh Besar itu berlangsung meriah, kendati dengan penganan alakadar. Kuah sie leumo ‘gulai lembu’ cukup pula memantik kelakar para penulis itu selepas berbuka puasa sembari menunggu waktu tarawih tiba. Wushu adalah salah satu ilmu bela diri serupa kugfu.[Herman RN]
Lampineung, 17 Ramadan 1432H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H