“Bèk gara-gara manok agam saboh, h’an jadèh beungoh”
FENOMENA kehidupan sosial selalu mencederungkan gejala ‘ingin di atas’. Merasa diri lebih baik, lebih pintar, dengan istilah Arab disebut dengan “ujub” tidak dapat dihindari. Hal ini sudah menjadi fitrah manusia sebagai makhluk yang merasa tidak pernah berkecukupan.
Uniknya adalah keinginan untuk mencapai kepuasan individu terkadang berpotensi menghancurkan individu lainnya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan untuk mencapai kepuasan individu, ada orang yang mengabaikan kepentingan kolektif (kelompok). Inilah yang dimaksud dengan ‘manok agam’ dalam narit maja indatu.
Ungkapan “manok agam” dalam kearifan ureueng Aceh juga disitirkan kepada orang yang merasa hebat, merasa diri paling harus di depan, merasa diri yang layak menentukan dan memutuskan. Tipikal “manok agam” ini biasanya selalu menafikan pendapat orang lain bahkan keputusan yang dihasilkan dalam komunitas.
Tipikal orang-orang seperti ini tentu kerap jadi ‘buah bibir’ di komunitasnya. Akan tetapi, kehadirannya dalam sebuah kelompok atau komunitas selalu menjadi keniscayaan. Lagi-lagi barangkali sudah fitrah bahwa di mana ada kebaikan walaupun sebatas niat, di sana pula ada keburukan atau kejahatan.
Secara general, hal ini di dapat dilihat dari kelahiran Sang Pembawa Kebaikan Umat, Muhammad saw. Bahwa sebelum kelahiran Kekasih Allah itu, sudah duluan ada pamannya, Abu Jahal dan Abu Lahab yang jelas-jelas pembawa keburukan. Oleh karena itu, tidak perlu diherankan bahwa kejahatan sudah duluan lahir dibanding kebaikan itu sendiri.
Merasa Terpukul
Orang yang memiliki sifat ‘manok agam’ cenderung menunjukkan dirinya sebagai orang yang merasa terpukul. Misalkan dalam sebuah lembaga atau komunitas, ia merasa diri sebagai orang di atas, memimpin. Namun, pendapatnya kurang berterima bagi khalayak. Maka apa pun akan dilakukan oleh orang ini untuk menyatakan dirinya adalah orang yang ‘di atas’.
Untuk komunitas yang diisi oleh orang-orang serupa ini perlu diingat bahwa jangan sampai semua agenda atau keputusan bersama dihancurkan hanya gara-gara ‘manok agam saboh’. Dalam hadih maja disebutkan ““Bèk gara-gara manok agam saboh, h’an jadèh beungoh”.
Apa pun yang terjadi pada komunitas tersebut, jika memang sudah menjadi keputusan bersama dalam musyawarah, sebaiknya dijalankan terus. Tak perlu memikirkan orang yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Yang perlu dihindari dalam kondisi seperti ini adalah bubè dua jap, seureukap dua muka. Orang-orang yang memiliki ciri kedua setelah ‘manok agam’ ini sama seperti cu’ak, yakni dua muka.
Kebiasaannya, orang-orang seperti ini hanya memikirkan laba pada pribadinya. Oleh sebab itu, kepada orang ini disematkan pepatah bubè dua jap, seureukap dua muka, keudéh jipeuto keuno jipeurap, bandua pat meuteumèe laba. Dalah peribahasa dikatakan dengan “nila setitik yang menyebabkan rusak susu sebelanga”.
Baik ‘manok agam’ maupun ‘bubè dua jap’ sama-sama penyakit yang harus dihindari, terutama oleh setiap individu. Penyakit ‘manok agam’ ini kerap menghinggapi siapa saja yang tidak dapat mengontrol dirinya dengan kesadaran bahwa ia hidup di dunia sosial, bukan dalam hutan atau di dasar lautan.
Hal menyakitkan sebuah komunitas masyarakat adalah tatkala sifat ‘manok agam’ ini menghinggagi pemimpin, meski setingkat geuchik, imum mukim, atau camat. Apalagi, jika penyakit ini sampai tertanam pada pemimpin nomor satu di tingkat provinsi atau setingkat negara. Tentu saja bahaya!
Indatu sempat meriwayatkan bahwa pemimpin adalah panutan. Oleh karena itu, seseorang yang telah dipercayakan berdiri di lini depan sudah sepatutnya tidak menanamkan ‘manok agam’ dirinya, tetapi tetap memikirkan kepentingan khalayak, rakyat. Tayue jak di keue jitôh geuntôt, tayue jak likôt jisipak tumèt. Tayue jak bak teungoh jimeusingkèe, pane patôt jeuet keu pangulèe.
Tentu saja tamsilan dalam narit maja di atas tidak diinginkan pada seorang pemimpin. Namun, hal itu kemungkinan terjadi manakala sifat merasa diri lebih pantas sebagai sosok tidak hilang dari dalam jiwa seseorang.
Sekali lagi, kepentingan bersama mesti diletakkan di atas kepentingan individu. Keinginan pribadi harus disimpan di belakang keinginan kelompok. Jika dalam sebuah komunitas banyak orang yang merasa diri sebagai ‘manok agam’, dapat dipastikan program apa pun yang hendak dicapai selalu dihadapi dengan masalah besar.
Oleh karena itu, sudah saatnya diri yang merasa sosok atau tokoh menanamkan pula pemikiran bahwa “di atas langit masih ada langit”.[Herman RN]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H