Lihat ke Halaman Asli

Surôt Lhèe Langkah

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam kehidupan sosial, kita tidak pernah dapat terlepas dari dinamika. Dinamika sosial menjadi bumbu dalam rumah tangga dan pergaulan bermasyarakat.



Lahirnya dinamika yang memicu adanya masalah sosial menjadikan masyarakat berpikir dan bertindak lebih dewasa. Akan tetapi, tak jarang pula lahir tindakan yang tidak diinginkan.Di antara tindakan tak diinginkan itu biasanya berupa eksekusi personal dan eksekusi massa. Eksekusi personal dapat dicontohkan main hakim sendiri terhadap masalah yang dihadapi. Eksekusi massa berupa pengambilan tindakan oleh massa secara tidak beraturan.

Baik eksekusi personal maupun eksekusi massa, keduanya tetap melahirkan kerugian pada yang dieksekusi. Dua jalan ini bukan jalan menuju damai. Harusnya, memutuskan suatu perkara jangan memandang pada kuantitas hukuman, melainkan tujuan yang diinginkan, yakni “damai”.

Mengacu pada kearifan Aceh, damai adalah tujuan dari sebuah keputusan penyelesaian masalah. Bahkan, kearifan masyarakat Aceh mengajarkan lebih baik mundur tiga langkah sembari membungkukkan badan demi dikenali diri sebagai seorang insan tinimbang harus saling bersitegang yang mendatangkan perkara lebih panjang. Hal ini dimaktubkan dalam hadih maja surôt lhèe langkah meureundah diri, mangat jituri nyang bijaksana.

Kata surôt lhèe langkah bukanlah berarti ‘harus berjalan mundur’ apalagi bilangan mundur itu mesti tiga langkah. “Surôt lhèe langkah” kurang lebih diartikan sebagai langkah bijak demi menghindari masalah.

“Menyelesaikan masalah tanpa masalah,” demikian semboyan Pegadaian. Barangkali semboyan itu perlu diterapkan dalam kehidupan masyarakat oleh siapa saja, terutama pengambil kebijakan (ketua pemuda, geuchik, tuha peut, tuha lapan, dan imum mukim). Tatkala ada masalah sosial, semestinyalah mencari jalan penyelesaian masalah.

Penyelesaian masalah diharapkan berakhir damai, tanpa ada dendam.

Dendam biasanya muncul karena ada yang tersakiti atau terzalimi akibat ketidakadilan. Dendam bisa saja karena eksekusi personal maupun eksekusi massa. Oleh karena itu, indatu ureueng Aceh menganjurkan, bak nyang utôh tayue ceumulék/ bak nyang lisék tayaue keunira/ nyang baca tayue ék kayee/ nyang dungee tayue jaga kuta/ nyang beu-o tayue keumimiet/ nyang meugriet tayue meumita/ nyang malém tayue beut kitab/ nyang bansat tayue rabé guda/ nyang bagah tayue seumeujak/ nyang bijak tayue peugah haba.

Untuk Pemimpin

Ada banyak hadih maja yang menganjurkan pemimpin agar ber-hati sebagai seorang tauladan, panutan, dan berkharisma. Kharisma seorang pemimpin tidak terlihat pada wajahnya yang berkumis, berjanggut, atau merokok-tidaknya ia. Kharisma seorang pemimpin akan dilihat dari cara ia bertutur, berbuat, dan bertindak.

Di antara hadih maja tentang pemimpin adalah “Ladôm hue cöt, ladôm hue lhôk, nyang bungkôk ureueng mat punca.” Penggambaran nyang bungkôk sebagai pemegang tampuk pemimpin adalah sindiran terhadap pemimpin yang tidak “lurus”. Tidak “lurus” maknanya tidak dapat dijadikan pegangan atau panutan.

Pemimpin nyang bungkôk merupakan pemimpin yang suka bersilat lidah. Dalam dirinya tertanam perasaan sebagai ‘raja’ sehingga seolah-olah dialah pemegang kekuasaan. Kesepakatan secara partisipatif terhadap masyarakat pun kurang. Tidak tertutup kemungkinan pemimpin seperti ini akan suka mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan masyarakatnya.

Kepada masyarakat pun dianjurkan memilih pemimpin dengan baik. Kriteria pemimpin bagi ureueng Aceh termaktub dalam Qanun Syara’ Kerajaan Aceh. Di antara kriteria itu disebutkan bahwa seorang pemimpin mesti yang memahami adat dan hukum.

Orang yang tidak paham adat dan hukum tetapi dipercayakan menjadi pemimpin, niscaya di gampông itu akan mudah ‘hinggap’ percekcokan. Percekcokan bakal mendatangkan kehancuran. Hal inilah yang dimaksud oleh “Bue meubajee, asèe meusileuweue/tapuduek jih ateuh ulèe, jitrom geutanyoe lam pageue”.

Jelas sekali nukilan hadih maja tersebut bahwa orang-orang yang berperangai seperti “anjing” tidak boleh hadi pemimpin. Diksi “anjing” yang digunakan pada perumpamaan di atas tidak lain betapa orang Aceh memandang rendah pada orang-orang yang tidak berperangai sebagai manusia mestinya.

Seperti diketahui, anjing adalah binatang bernajis besar dalam Islam. Oleh karena itu, diksi “anjing” digunakan dalam hadih maja ini sebagai ketidakpantasan seorang pemimpin diberikan kepada orang-orang yang tidak berperilaku semestinya manusia. Dalam hadih maja yang lain bahkan ditegaskan tentang orang-orang yang hanya menampakkan perkataan baik tetapi pekerjaan sama sekali tdak menggambarkan yang dia katakan. Hadih maja itu adalah Patôk meujaliku sabông meujalikè,

narit meuteungku, buet meu-asèe.”

Beranjak dari itu, seorang pemimpin juga mesti berhati rendah seperti dinukilkan pada “surôt lhèe langkah meureundah diri…” Keputusan dan kebijakan yang diambil mestilah berpihak pada yang benar. Untuk itu, diperlukan saran dan pendapat masyarakat, pun kesertaan tuha-tuha gampông yang telah dipilih mendampingi geuchik maupun imum mukim.

Herman RN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline