Jika ada yang menyebutkan "Aceh dan Islam" adalah ibarat dua sisi mata uang, yang apabila satu di antaranya tidak ada maka tak berfungsi mata uang tersebut, di sini saya hendak menisbatkan Aceh di mata sastra. Dalam hemat saya, "Aceh dan sastra adalah ibarat keniscayaan zat ngon sifeut, kulet ngon asoe, agam ngon inong, langet ngon bumo".
Mungkin jargon ini memang terlalu berlebihan. Namun, inilah Aceh dan sastra. Terlepas dari ada atau tidaknya kesetujuan orang terhadap nisbat tersebut, hemat saya demikian adanya. Mereka yang memberi gelar pada Aceh sebagai Seuramoe Makkah, Tanoh Rincong, Nanggroe Iskandar Muda, Daerah Modal, Daerah Istimewa, hinggaterakhir sebagai Negeri Syariat Islam, tentunya memiliki alibi masing-masing. Maka saya menisbatkan Aceh dan sastra sebagai zat ngon sifeut, juga berdasarkan asumsi yang saya miliki.
Menurut saya, kejayaan dan kemasgulan Aceh tak lepas dari peran sastra dan sastrawannya yang membuat nama daerah ini dikenal hingga ke bangsa luar, bansigom donya. Kendati demikian, tentu pula tak terlepas dari peran pejuang-pejuang Aceh di masa silam yang menjadikan sejumlah ulama Aceh berani lahir sebagai sastrawan, yang kemudian pada akhirnya mengukir Aceh di mata dunia, bahkan di hati bangsa-bangsa yang pernah menjajah wilayah Aceh. Sungguh, dengan demikian, ulama Aceh pada masa silam adalah sastrawan.
Kita sebut saja dengan nama Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdul Rauf As-Singkili, dua ulama Aceh ini juga tercatat dalam ensiklopedi atas nama sastrawan. Sangking masyhurnya, Prof. Dr. Hamka menyatakan bahwa menyebut nama dua ulama besar (Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili) itu, sama halnya dengan menyebut 1000 bahkan 2000 orang Aceh lainnya. Mengapa bisa? Karya sastralah yang membuat mereka bisa seperti itu.
Sebut saja salah satu karya sastra dimaksud kitab tafsir Turjuman Al-Mastafiid, satu dari sekian karya Abdul Rauf As-Singkili yang bernama lengkap Syekh Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Turjuman Al-Mastafiid merupakan sebuah kitab tafsir pertama terhadap seluruh isi kandungan Al-Quran, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah An-Nash. Sampai hari ini, kitab tafsir tersebut masih diakui sebagai karya sastra fenomenal yang belum ada tandingannya sebagai sebuah karya tafsir terhadap wahyu Allah swt. Sayangnya, masyarakat Aceh, sekalipun dia meyebut diri sebagai sastrawan, masih jarang kenal terhadap kitab tersebut. Kalaupun ada yang tahu pasti tentang Turjuman Al-Mastafiid, hanya sekelompok orang. Padahal, di luar sana, karya tersebut sangat dikagumi dan bernilai sehingga meskipun sudah berlangsung belasan abad, Turjuman Al-Mastafiid masih terus dicetak ulang. Pencetakan ulang secara kontinyu terhadap kitab tersebut dilakoni oleh penulis terkenal di Mesir, Syaikh Mustafa al-Babi al-Halabi. Disebutkan pula bahwa kitab tafsir tersebut masih dibaca tekun oleh Muslim di Negeri Syiam, Kamboja, Malaysia, Banjar, dan mungkin sejumlah wilayah lainnya. Turjuman Al-Mastafiid adalah satu dari sekian karya Abdul Rauf yang telah membawa nama Aceh dikenal gagah oleh bangsa-bangsa luar.
Selanjutnya, yang membawa nama Aceh dikenal di dunia karya sastra adalah Bustanussalatin. Goresan pena Nuruddin Ar-Raniry itu telah membuktikan bahwa sastra di Aceh sudah hidup dan berkembang sejak zaman kejayaan Iskandar Muda.
Tersebut pula Hikayat Prang Sabi karangan Teuku Chik Pante Kulu. Sangking dikenalnya sastra berbentuk hikayat itu, Belanda secara khusus mengirim Snouck Hurgronje untuk meneliti sastra tersebut. Snouck yang terkenal punya banyak ide dan licik itu menyimpulkan bahwa Hikayat Prang Sabi berbahaya bagi orang asing yang masuk ke Aceh, terutama bangsa non-Islam seperti Belanda. Hal ini karena dalam hikayat tersebut dikatakan bahwa perang melawan kaphé Beulanda adalah suci dengan imbalan surga. Karenanya pula, sastra satu ini berhasil membawa nama Aceh sepanjang abad untuk dikenal dan disegani oleh bangsa luar, terlepas masa sekarang perubahan terhadap apa yang ditakutkan itu tidak lagi berterima.
Sastra Panggung
Selain dalam bentuk sastra tulis atau sastra tutur, Aceh juga dikenal dengan sastra panggungnya. Salah satu sastra tersebut adalah seudati. Para pakar kolonialis Belanda sepakat bahwa dalam gerak seudati terkandung nilai-nilai karakteristik keacehan yang sangat tinggi. Melalui gerak tarian seudati disimpulkan oleh para peniliti Belanda bahwa Aceh memiliki sifat ke-aku-an yang sangat memuncak, egois, dan arogan. Tuduhan itu disematkan dari gerak seudati yang berulang kali menepuk dada, memukul perut, dan menelisip "licik" dari kelincahan keramaian lewat variasi gerak yang beragam. Keindahan gerak itu ditamsilkan awak Belanda sebagai kelicikan ureueng Aceh dalam melakukan penyusupan ke dalam pihak musuh.
Kendati disematkan dengan nilai-nilai negatif, seudati diakui sebagai simbol sastra yang sangat tinggi, yang geraknya sulit ditiru oleh orang (bangsa) lain. Ini pulalah yang membuat Aceh semakin dikenal di mata sastra.
Sistem Pemerintahan