Lihat ke Halaman Asli

Review Buku Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya, untuk saya yang bukan siapa-siapa dan tak bisa apa-apa, tak patut rasanya untuk meriview buku dari penulis hebat sekelas Pramoedya Ananta Toer. Tapi entah kenapa, ketika saya selesai membaca bukunya "Bumi Manusia" (edisi pertama dinyatakan dilarang beredar oleh Jaksa Agung pada tahun 1981), tangan ini merasa gatal untuk menulis reviewnya, sama seperti buku-buku yang setiap selesai saya baca.

Buku "Bumi Manusia" sendiri, dalam riwayatnya, pernah diterbitkan dalam 34 bahasa. Hal ini yang membuat saya merasa tak pantas untuk menulisnya dalam review. Tapi, tak ada pilihan lagi, kalimat demi kalimat sudah terlanjur saya susun dan saya ketik. Mubazir, jika saya tak menyelesaikan review ini.

Bumi Manusia adalah satu dari empat serial roman Tetralogi Buru. Tiga serial lainnya adalah: Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tetralogi Buru ditulis Pram (Pramoedya Ananta Toer) saat ia mendekam dalam kamp kerja paksa di Pulau Buru, tanpa proses pengadilan karena dituduh terlibat G30S PKI.

Bumi Manusia, berlatar kota Surabaya dan berkisah tentang kolonial. Belanda dan Pribumi. Menurut saya, dalam Bumi Manusia, terdapat dua tokoh sentralnya. Minke dan Nyai Ontosoroh. Minke adalah  seorang anak Bupati, yang pada akhirnya tak mau menggantikan posisi jabatan tinggi ayahnya. Ia tetap memilih menjadi bebas, manusia merdeka. Minke adalah laki-laki pintar dan cerdas. Maka, ia adalah satu-satunya Pribumi yang dapat bersekolah di sekolah Belanda pada zaman tersebut. Dan dalam pribadi yang lain, ia adalah penulis lepas untuk koran S.N.  v/d D dengan nama pena Max Tollenar.

Ketika ia diajak Robert Suhoorf, sahabatnya, berkunjung pada sebuah rumah sekaligus perusahaan Belanda milik Tuan Herman Mellema di Wonokromo. Dari awal itulah semua hidup Minke berubah. Mulai ia mencintai anak perempuan pemilik perusahaan, Annelies Melemma. Kekagumannya pada seorang gundik bernama Nyai Ontosoroh(nama aslinya adalah Sanikem) dengan segala pemikiran luar biasanya. Dan tentang bagaimanaia ia diperlakukan hina di sekolahnya karena ia mencintai dan menikahi anak dari perkawinan yang tak sah.

Nyai Ontosoroh sendiri,  dalam Bumi Manusia ditulis penggambaran dirinya dalam beberapa lembar. Ia Pribumi asli. Oleh ayahnya, pada umur 14 tahun ia dijual pada Tuan Herman Melemma untuk sogokan kenaikan pangkat. Saat ia mulai dicap sebagai gundik dengan segala kesan negatifnya. Nyai lantas berubah, ia tak mau  kalau hanya dicap sebagai gundik, kasarnya adalah pemuas birahi. Nyai lantas belajar membaca, menulis,  beternak dan segalanya tentang perusahaan. Hingga ia menjadi gundik yang pintar dan cerrdas. Dan Nyai diam-diam telah menyiapkan semuanya, jika Herman Melemma kembali ke Belanda dan tak kembali lagi ke Hindia.

Pada pertengahan cerita, mulailah Minke dan Annelies  hidup sebagai suami istri. Dengan godaan Robert Suhoorf yang ternyata juga mengagumi Annelies. Suhoorf cemburu pada Minke, hingga akhirnya ia menebar fitnah bahwa Minke hidup di bawah rumah seorang gundik, dan hidup satu atap  bersama Annelies tanpa ikatan sah peradilan Belanda.

Masalah fatal datang ketika, Minke, Nyai dan Annelies menemukan Tuan Herman Melemma tergeletak mati di rumah bordil milik Babah At Tjong. Mati dalam keadaan mulut berbusa, karena racun dalam minuman keras yang ia tenggak dalam waktu berkepanjangan.

Ketika Herman Melemma mati, munculah tokoh I.r Maurits Melemma, anak dari perkawinan sah Herman Melemma dan  Meriam. Menuntut apa-apa yang dirasa adalah warisan untuk ia dan ibunya. Masuklah pada bagian terberat cerita. Pribumi melawan Belanda. Dengan sisi Belanda yang tak terkalahkan. Meskipun Minke mampu menggalang  dukungan hanya dengan tulisannya dan tulisan dari seorang Indo bernama Kommer. Kasus kematian Herman Melemma dengan terduga Minke dan Nyai tetap digelar. Walau pada akhirnya yang dipenjara adalah Babah At Tjong, bukan Minke dan Nyai Ontosoroh. Masalah tak berhenti sampai disitu.

Suatu ketika, datang surat telegram dari  Pengadilan Belanda. Bukan hanya untuk mengambil alih semua harta milik Herman Melemma saja, tetapi juga untuk merebut hak perwalian  Annelies Melemma dari Nyai sebagai ibunya dan merebut istri dari Minke. Nyai dan Minke tak mau kalah, mereka mendebat pengadilan Belanda di Surabaya. Dengan tulisan, Minke mendapat dukungan dari Sarah dan  Miriam, sahabatnya di Belanda. Termasuk dukungan dari Tuan Residen Herbeit De La  Croix, ayah dari Sarah dan Miriam, ia memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena pengadilan Belanda tetap ingin merebut hak-hak nyata Pribumi.

Bumi Manusia ditutup oleh Annelies yang dijemput oleh  Meriam dan Maurits untuk dibawa berlayar  ke Belanda. Annelies bersikap sama  seperti Nyai Ontosoroh ketika  dulu dijual pada Tuan Herman Melemma. Diam tanpa menoleh pada rumah untuk terakhir kalinya. Meski telah dipanggil Nyai, ibunya, dan Minke suaminya. Ia tetap berjalan tegap dengan  tatapan ke depan. Sembari mengucap pelan, "Lupakan aku Ma..lupakan aku Mas Minke..aku pergi seperti Mama dulu..dan aku tak akan kembali ke rumah ini lagi." Dan Minke berucap pada Nyai, "Kita kalah Ma" Dan Nyai menjawab, "Tidak, kita sudah melawannya"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline