Lihat ke Halaman Asli

Secangkir Kopi

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kau pasti tak akan lupa, tentang apa yang paling kita suka. Ya, secangkir kopi, bukan seteko teh. Pagi ini matahari terlalu malas untuk muncul dari peraduannya. Hingga lima belas menit ketika aku telah menyelesaikan racikan kopi, ia juga belum muncul. Atau mungkin aku tak bisa melihatnya, karena mata, hati, dan kepalaku penuh terisi tentangmu, sayang? Dan aku tak kuasa untuk menolak segala citra yang coba selalu kau tawarkan.


Aku bukan takut akan kesendirian, jika tiba-tiba saja kau meninggalkanku. Kau tahu, jika aku takut merasa sendiri karena kau pergi, itu sama saja aku menjadikanmu hanya sebagai penawar sunyi semata. Cintaku padamu tak sesederhana itu! Aku tak sepicik itu!


Aku tahu, kau pernah mencoba untuk menjadi yang terhebat untukku. Tapi kini, aku melihat tak ada lagi harapan untukku pada matamu, sayang. Kau mungkin sudah lelah untuk memberi kepercayaan padaku. Aku merasa kau telah menikamku dengan kebencian. Dan kau merasa bahwa aku tak bisa menjadi pelindungmu paling depan.


Aku mencintaimu, tapi itu tak lagi penting. Bahkan untuk kali ini, air mata pun tak lagi punya nilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline