Lihat ke Halaman Asli

Anis Matta dan Analogi Politik Republiken AS

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya terkejut, bukan karena kekalahan opsi Pilkada Langsung, atau digelarnya agenda pembekalan anggota DPR Koalisi Merah Putih 2014-2019 Jumat kemarin (26/9) yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun televisi nasional. Saya terkejut, karena justru seorang Anis Matta yang notabene pejabat teras Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang telah menelanjangi simpul-simpul pikiran saya (dan mungkin ribuan pikiran orang-orang Indonesia) tentang kemiripan proses pemilihan parlemen dan model faksionalisasi eksekutif-parlemen di Indonesia saat ini dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Kalau seandainya lontaran itu diucapkan seorang Prabowo, Ganjar Pranowo atau mungkin tokoh akademisi, bisa jadi saya tak terlalu terkejut. Atau bisa saja saya melewatkan adanya lontaran serupa yang telah diucapkan dan tak saya ketahui.

Presiden PKS itu tampil seperti begawan politik. Kontennya sangat mengena. Kira-kira begini isinya, "Bahwa Pemilu kita secara tak sengaja telah mendikotomikan dua arus besar yang saling berhadapan. Kita, KMP, disebut-sebut sebagai kaum konservatif; sementara yang di sana liberal. Mirip dengan apa yang terjadi pada election di Amerika. Yang konservatif itu republiken, yang liberal itu di demokrat. Termasuk juga dengan pembagian kekuasaannya. Obama dari Demokrat menang di eksekutif, sementara parlemen mayoritas Republik."

Kira-kira seperempat perjalanan kampanye Pilpres kemarin, pikiran ini persis datang di kepala saya. Prabowo didukung banyak kalangan yang mencintai Indonesia dalam perspektif narrow nationalism (istilah kita menyebutnya nasionalisme militer yang tak terbantahkan). Sementara Jokowi didukung begitu banyak kelas menengah perkotaan yang telah melepaskan dogma-dogma di pikirannya dan mulai menyongsong kebebasan individual; sebagian lagi kaum minoritas yang sudah sangat terbiasa tertekan dan mendambakan standing legitimasi yang sama dengan mayoritas. Kita bisa menemui bukti-bukti otentik ini di banyak jejak: mulai dari cara berpakaian tim, penggunaan emblem, muatan pesan, twit dan sosmed war, sampai negatif dan kampanye hitam yang muatan pesannya justru semakin memperlihatkan adanya dikotomi dua aliran ini.

Pertanyaan mendasarnya, apakah dikotomi ini benar-benar ada, atau hanya sekedar agenda setting pihak tertentu?

Saya tak punya gelar akademis untuk dapat menegaskan jawaban ini. Hanya saja, saya mendapatkan fenomena menarik saat mendalami model divide et impera Belanda. Sesungguhnya, Belanda hanya menggunakan potensi konflik sebagai cara untuk memecah, dan tidak menciptakan konflik baru. Dari konsep inilah secara sederhana saya menjawab, bahwa dikotomi ini memang ada, dan ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan dikotomi ini sebagai potensi konflik.

Panjang sejarahnya, bisa jadi sejak kekuasaan kerajaan di pesisir pantai yang terbuka dan kekuasaan dari pedalaman pegunungan yang begitu sentralistik saling bertumbukan. Tapi dikotomi antar keduanya memang ada. Misalkan, kita bisa berdebat panjang tentang Piagam Jakarta dan spektrum ideologi yang terpetakan saat itu. Tapi toh, Pancasila telah merangkul semuanya dalam satu genggaman padi.

Analogi politik Bang Anis boleh jadi adalah apa yang menyeruak saat ini. Konservatisme agama dan nasionalisme telah semakin galak terlihat, sementara di sisi lain liberalisasi di seluruh sendi kehidupan juga mengalami histerianya. Yang satu menuduh yang lain tak bermoral, sementara yang satu menuding lainnya sebagai munafik.

Jujur, sejenak saya terdiam. Untungnya saya perokok, dan kediaman saya tak sepenuhnya diam. PKS telah secara jujur membuka kotak pandora ini di depan publik, dan dengan penyampaian seorang Anis Matta yang intelek dan argumentatif. Saya tadinya berharap, pikiran saya akan ditelanjangi oleh seorang akademisi. Tapi mungkin jamnya yang memang tak sejalan.

Mengapa seorang akademisi yang saya harapkan? Karena pertanyaan selanjutnya adalah: apakah dikotomi ini tak bisa didamaikan? Saya yakin, seorang akademisi dengan kenetralannya akan berkata: pernah! Soekarno dan Soeharto! Lepas dari perbedaan gaya kepemimpinan dan prioritas serta visi yang diemban, kedua orang ini sukses memainkan politic of equilibrium atau politik keseimbangan di antara dua dikotomi ini. Gus Dur bisa jadi tokoh berikutnya, tapi orbitnya belum terlalu pas untuk dirinya.

Hingga kemudian saya menjawab kepada diri saya sendiri. Bahwa kekuasaan berikutnya mungkin akan disibukkan dengan persoalan Suku Bunga Indonesia atau investor portofolio asing yang keluar masuk; atau subsidi BBM. Kekuasaan berikutnya harus dapat menemukan formula jitu mengawinkan kedua dikotomi tersebut agar konsepsi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika benar-benar terwujud. Tentu, bukan formula dan teknik dagang sapi serta bagi-bagi kursi. Mungkin di pikiran saya berikutnya, formula ini bisa muncul.

Jadi, Bang Anis. Selamat untuk kesadaranmu atas adanya dikotomi itu. Pupuklah visi kebersatuan, dan temukan formula jitu itu jika memang ingin partai pemenang yang dapat menciptakan kembali Indonesia. Janganlah menjadi politikus bergaya Belanda yang memahami potensi konflik dan menggunakannya demi menciptakan celah. Saya masih percaya, ada hati di antara kita..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline