Tahun ini adalah untuk kedua kalinya XXI Short Film Festival digelar. Beruntungnya, saya bisa menyaksikan langsung Opening Ceremony dan Awarding Night yang tahun lalu sempat terlewatkan. Hal yang paling jamak dilakukan pada malam pembukaan sebuah festival film adalah paparan singkat mengenai tujuan sebuah festival serta kegiatan-kegiatan apa saja yang telah dilakukan sebelum festival dan pada saat festival berlangsung. Menariknya, dalam paparan singkat tentang festival ini, Direktur Program XXI Short Film Festival - Nauval Yazid - menyebutkan bahwa jumlah film pendek Indonesia yang dihasilkan meningkat secara signifikan. Tidak hanya secara kuantitas, tetapi para pembuat film pendek pun secara cermat memperhatikan serta menjaga kualitas dari film pendek yang mereka produksi. Kesimpulan data ini didapatkan setelah tim XXI Short Film Festival melakukan road show film-film finalis 2013 yang lalu ke beberapa kota di Indonesia sebelum pelaksanaan festival yang ke dua tahun ini.
Perkembangan film-film pendek di Indonesia memang menunjukkan tren positif. Dari paparan mengenai kegiatan road show yang telah berlangsung, Nauval memberi beberapa catatan khusus, ia menyebutkan film Halaman Belakang karya Yusuf Radjamuda sebagai sebuah poin penting yang menunjukkan bahwa film pendek berkualitas bisa hadir di tengah ketidakhadiran bioskop komersil di sebuah kota kecil. Disebutkan pula bahwa Komunitas Bioskop Jumat Palu merupakan partner lokal yang mempunyai kinerja serta manajemen festival yang baik. Bagi saya, apa yang diungkapkan oleh Nauval bukanlah sebuah pujian berlebihan yang timbul oleh hubungan pertemanan, tetapi fakta di lapangan menghadirkan apa yang selama ini dikerjakan oleh teman-teman di Palu merupakan bentuk untuk menghadirkan alternatif tontonan serta etos kerja yang boleh dijadikan patron bagi partner lokal lain yang akan menyelenggarakan festival film. Tentunya ini sebuah apresiasi dan prestasi. Palu tanpa bioskop komersial sudah bukan berita baru di kalangan perfileman Indonesia. Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan berbagai festival film serta komunitas-komunitas film tahu hal itu.
Selain Palu, XXI Short Film Festival pun mengapresiasi Makassar. Kota yang juga selalu menghasilkan sineas berbakat serta film-film pendek berkualitas ini dinilai sebagai tempat belajar yang mampu mengangkat isu-isu kultural dalam film, seperti pada film Sepatu Baru karya Aditya Ahmad.
Film dan Anak
Sengaja ataupun tidak, hampir sebagian besar film dari ke 22 finalis XXI Short Film Festival memproyeksikan anak dan dunianya, entah sebagai tokoh utama ataupun sebagai tema cerita. Kerap kali anak tidak mendapatkan tontonan berkualitas dan sering menjadi korban dari tontonan non-edukatif di televisi, maka film-film kompetisi kali ini bisa menjadi alternatif tontonan. Sayangnya, XXI Short Film Festival absen terhadap kebutuhan ini. Jika konsep dan tujuan festival adalah untuk menjawab antusiasme publik, bisa jadi festival ini belum benar-benar menjawab hal itu, padahal anak-anak juga termasuk dalam publik itu sendirir. Saya membayangkan, tentunya anak-anak akan memberikan umpan-balik yang berbeda ketika mengapresiasi film yang memvisualisasikan dunianya. Mungkin, absennya festival ini untuk memberikan ruang bagi anak-anak sebagai audiens adalah karena program yang dirancang untuk penayangan film hanya didasarkan pada kategori lomba.
Terbaik dan Terfavorit
XXI Short Film Festival 2014 selesai setelah film-film pemenang pilihan juri dari masing-masing kategori diumumkan. Film-film tersebut adalah Akar karya Amelia Hapsari untuk kategori Film Dokumenter Pendek, Kitik karya Ardhira Anugrah Putra untuk kategori Film Pendek Animasi dan Sepatu Baru kaya Aditya Ahmad untuk kategori Film Pendek Fiksi Naratif.
Berikut ini adalah film-film yang saya masukan dalam kategori favorit saya sendiri. Film-film itu adalah
1. Akar - (Amelia Hapsari)
Secara sederhana film ini bertutur tentang diri sutradara sendiri dan keluarganya. Ia mempertanyakan hal-hal yang mungkin jarang orang lain tanyakan pada orang tua mereka. Selain mengusung tema kultural dan identitas, film ini tidak berusaha menjadi film satir untuk memvisualisasikan keberadaan minoritas. Film ini benar-benar memberi cara pandang baru bagi penonton untuk dapat mengelaborasi 'ke-aku-an' melalu narasi dan gambar-gambar yang ditampilkan
2. Gazebo - (Senoaji Julius)