Lihat ke Halaman Asli

Pedro Babys

Mahasiswa

Dari Lensa Filosofis Driyarkara Menuju Pemaknaan "Kaum Muda" yang Berpolitik dan Berwawasan Etis

Diperbarui: 2 September 2024   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengantar

Baru-baru ini, pada 25 April 2024, STF Driyarkara menggelar Pekan Kelas Terbuka secara online melalui akun Youtube yang dibawakan oleh Prof. Franz Magnis Suseno dengan tema: "Peran Orang Muda dalam Kancah Politik Secara Etis." Hal yang menarik dari diskusi ini, seorang audiens bertanya kepada pemateri bahwa, apakah ada orang yang peduli dengan permasalahan kaum muda sekarang dan dapatkah mereka menjadi 'mentor' bagi kaum muda untuk berpolitik secara etis?

 Dari pertanyaan ini mengartikan bahwa, persoalan paling mendasar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia adalah sikap 'ketidakpedulian' pada persoalan-persoalan etis. Munculnya sikap 'apatis' ini tidak hanya dialami oleh kaum muda yang sulit untuk menjadi mentor bagi dirinya sendiri (self-mentor), tetapi juga dialami golongan tua yang 'seharusnya' menjadi panutan dan teladan bagi kaum muda. Selain itu, pertanyaan ini memprovokasi 'setiap orang', baik golongan tua maupun kaum muda untuk terlibat dalam pembentukan generasi muda yang melek etika.

Dalam horizon yang 'sama', pemahaman mengenai dengan etika politik dalam konteks Negara Republik Indonesia, cenderung 'berujung' rancu. Ketika politik disejajarkan dengan etika, maka pemilik etika politik adalah golongan tua. Tesis ini berkembang dari klaim yang menyatakan bahwa, kaum muda 'bukanlah' pemilik sekaligus agen etika dalam berpolitik; kaum muda sering dianggap tidak berkompeten dalam urusan-urusan politik, bahkan sering dinilai kurang beretika. Penilaian seperti ini tentu beralasan 'kuat' pada kenyataan kaum muda di zaman sekarang ini, sehingga klaim semacam ini dapat diterima sebagai kritik terhadap 'kaum muda' yang di satu sisi, cenderung mengabaikan persoalan etis dalam politik Bangsa.

Di sisi lain, perlu untuk 'menolak' distingsi pragmatis semacam ini yang berdampak buruk bagi perkembangan mentalitas anak muda. Artinya, jika kaum muda diklaim sebagai golongan yang tidak beretika dan tidak mempunyai kompetensi dalam bidang politik, maka 'klaim' tersebut menjadi racun terbesar bagi anak muda dan dengan demikian, anak muda hanya menjadi sub-ordinasi politis dari golongan tua. Penilaian seperti ini pertama-tama dipahami sebagai bentuk diskriminasi berkedok golongan

Oleh karena itu, sangat penting untuk mendalami pemikiran Nicolaus Driyarkara, karena di samping memahami filsafat Barat yang pelik untuk menyelesaikan persoalan dalam konteks Indonesia, filsafat Indonesia (filsafat kita) yang digagas oleh Driyarkara, mempunyai basis faktum (spatio dan tempus) yang menyejarah dan berakar dengan citra 'lokalitas' ke-Indonesiaan, sehingga melalui lensa filosofis Driyarkara, dapat dilacak status, peran dan kedudukan kaum muda dalam kancah politik secara etis.

Filsafat Driyarkara adalah Filsafat 'kita'

Nicolaus Driyarkara adalah seorang 'filsuf' berkebangsaan Indonesia yang lahir di Jawa Tengah, lereng Pegunungan Menoreh pada, 13 Juni 1913 (Driyarkara, 2006) Ia menamatkan Pendidikan doktoral Filsafatnya di Universitas Gregoriana pada tahun 1953. Sebagai seorang akademisi, ia banyak menulis di berbagai 'media', dalam hal ini majalah, surat kabar dan lain sebagainya. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul "Percikan Filsafat" merupakan karangan-karangan singkat yang ditulis antara tahun 1958-1961. Di sisi lain, kiprahnya di dunia politik mengarahkan fokus pandangannya pada isu-isu sosial, etika, kebudayaan, pemahaman mendasar mengenai manusia dan secara spesifik, pemikirannya tentang ideologi Pancasila yang amat 'urgen.' Pemikiran filosofisnya yang 'kritis' dan mampu menyentuh 'citra' manusia di Indonesia merupakan hasil elaborasi pemikiran Filsafat Barat yang dikontekstualisasikan dalam situasi sosio-kultural Bangsa Indonesia. Dengan demikian, Driyarkara adalah 'jembatan' yang menghubungkan filsafat Barat dan 'filsafat Indonesia', sekaligus menjadi promotor dalam menanamkan kesadaran etis bagi orang-orang Indonesia.

Filsafat Driyarkara adalah Filsafat 'kita' merupakan interpretasi 'lanjutan' yang bertolak dari peran Driyarkara sebagai upaya penanaman nilai-nilai moral bagi kaum muda di masa kini dan masa yang akan datang. Arti dari 'filsafat kita' pertama-tama dipahami secara filosofis. Kata 'kita' merupakan bias dari 'aku' yang berpersona dan 'aku' (yang lain) yang juga berpersona. Dalam Semiotika, 'kita' bersifat plural majesty yang dapat diterjemahkan kedalam konteks ini, sebagai metafor 'pemersatu bangsa.' Sebagaimana dalam deklarasi Sumpah Pemuda, para kaum muda menggunakan rumusan 'kita' atau 'kami' sebagai gambaran adanya ide dan hasrat untuk bersatu dalam bingkai kemajemukan bangsa. Maka, dimensi sosial yang dibangun bagi kaum muda berdasarkan pemahaman tentang 'kita' adalah bangsa atau nation. Kebangsaan Indonesia, merupakan bentuk integral dari setiap kebudayaan lokal dan sub-kebudayaan lokal. Dengan ini, 'kita' yang dimaksud menolak gagasan-gagasan 'sempit' dan ide-ide primordial yang merumuskan 'kita' dalam kalkulasi matematis berdasarkan skala-skala pembedaan yang berbau SARA.

Perihal "Etika Politik" dan Agen-Agennya

Pembicaraan soal etika dan politik merupakan dua unsur yang bersifat dualis, sekaligus komplementer. Dua sifat ini sebenarnya sudah menjadi polemik terbesar dalam arus Sejarah politik yang berbenturan satu sama lain. Dalam konteks Yunani Kuno, etika dan politik disejajarkan dalam kerangka untuk membangun kehidupan yang baik good life. Asumsi demikian mempunyai basis analisis yang berakar dalam ide-ide klasik, Plato dan Aristoteles.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline