Perlu Tidaknya Sistem Zonasi pada PPDB yang didukung dengan Kesenjangan Sistem Pendidikan dan Infrastruktur di Tingkat Daerah
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sistem Zonasi masih menuai berbagai macam polemik. Sebab setelah sekitar hampir 6 tahun kebijakan sistem zonasi tersebut diterapkan masih banyak beberapa kelompok yang meyakini bahwa sistem zonasi tersebut bukannya menyelesaikan masalah yang ada sebelumnya, namun menambah masalah baru.
Perlu diketahui, sistem zonasi adalah sebuah sistem pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai dengan wilayah tempat tinggal. Sistem tersebut diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 dan ditujukan agar tak ada sekolah-sekolah yang dianggap sekolah favorit dan non-favorit.
Ada berbagai macam pihak yang mendukung maupun menolak adanya sistem zonasi tersebut dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Menurut pihak yang mendukung mereka berpendapat bahwa kebijakan sistem zonasi tersebut sangatlah bagus, sebab dengan kebijakan sistem zonasi tersebut diharapkan dapat memeratakan kualitas pendidikan di Indonesia, tidak adanya anggapan sekolah favorit maupun sekolah non favorit, semuanya sama.
Menurut pihak yang menolak sistem zonasi yang dijadikan sebagai jalur untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), mereka berpendapat bahwa jikalau dengan adanya sistem zonasi, bukannya mengurangi masalah namun malah menambah masalah. Seperti contohnya, peserta didik tidak dapat memilih dengan bebas kemanakah ia ingin bersekolah, perbedaan kualitas pada beberapa sekolah yang tentunya para orang tua ingin anaknya masuk ke sekolah yang bermutu dan memiliki fasilitas yang mumpuni untuk menunjang anak mereka.
Seorang pakar pendidikan menilai, pemerintah terlalu memaksakan pelaksanaan sistem tersebut.
"Zonasi itu niatnya baik sekali, sangat mulia karena ada unsur pemerataan dan keterjangkauan akses pendidikan. Namun tetap harus dibarengi dengan kesiapan infrastruktur beserta sarana dan prasarana pendidikan. Sehingga peserta didik baru akan bisa terakomodir melalui sistem tersebut," kata pakar pendidikan Prof Mohamad Amin kepada detikcom, Rabu (19/6/2019).
Menurutnya, sistem zonasi semestinya dijalankan secara bertahap, sebelum pemerintah bisa menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung. Unsur hasil belajar (nilai) tetap diberlakukan sebagai bahan seleksi serta semangat siswa dalam belajar
"Kalau kita belum bisa berzonasi secara penuh, ya gunakan sistem seleksi dari hasil belajar (nilai), agar orang tua itu puas. Menurut saya bertahap saja, ada pemetaan, biar tetap ada semangat dari siswa dan orang tua tetap melibatkan unsur hasil belajar. Sampai nanti, pemerintah benar-benar mampu menyediakan sarana dan prasarana sebagai pendukung sistem zonasi," imbuh pria yang juga Ketua Dewan Pendidikan Kota Malang.
Dia mencontohkan, Jerman juga memberlakukan sistem zonasi. Tetapi di sana unsur nilai atau hasil belajar tetap menjadi acuan ke jenjang berikutnya. Bagi anak-anak nilainya kurang dari 7, maka diarahkan untuk bersekolah vokasi. Sebaliknya, mereka yang memiliki nilai bagus dari hasil ujian bisa masuk ke SMA hingga universitas.
"Sekolah vokasi yang dimaksud adalah mengakomodir sesuai keahlian para siswa. Sehingga ketika lulus, mereka bisa bekerja atau membuka lapangan usaha. Tetapi yang nilainya bagus bersekolah di SMA dan universitas, di Jerman begitu dan ini menjadi contoh saja," tambah pengajar di Universitas Negeri Malang (UM) itu.