Tawuran antar siswa sudah beberapa kali atau sering terjadi di Indonesia. Tawuran ini muncul bukan hanya karena tersulutnya emosi seorang pelajar atau sebagian pelajar di sekolah tertentu oleh seorang atau sebagian pelajar di sekolah lainnya. Tetapi bisa juga disebabkan oleh merasa superioritasnya seseorang atau sebagian orang di sekolah tertentu, yang merasa bahwa sekolahnya lebih baik ketimbang sekolah yang lain.
Merasa diri superior ini disadari ataupun tidak, sebenarnya bisa melekat pada siapapun, tetapi ini menjadi sebuah bom waktu jika merasa diri lebih hebat ini menjadi bersifat komunal dan berada pada satu lingkup orang yang secara emosional masih labil. Usia belasan merupkan sebuah waktu dimana seseorang mecari jatidirinya. Jika daya salur jatidiri ini tidak benar, maka sebenarnya bukan hanya tawuran yang terjadi, melainkan degradasi remaja, seperti terjerat pada kasus narkoba, pencurian, dan berandalan bermotor.
Satu hal yang paling umum dalam tawuran antar siswa yaitu termotivasi karena agar dirinya bisa menjadi bagian dalam komunitas, juga agar disebut hebat oleh teman sebayanya. Hasrat untuk menunjukan diri di ruang publik ini sangat besar, karena siswa dalam usia belasan kerap mencari jatidiri. Pencarian jatidiri yang sangat meluap ini menjadikan seorang siswa bisa melakukan banyak hal, termasuk tawuran.
Seorang atau sebagian siswa yang melakukan tawuran tentu sangat terkait dengan dunia pendidikan. Jika melihat pada pandangan Fritcop Capra tentang integralisme yang menyatakan bahwa semuanya saling terkait dalam satu kesatuan semesta, maka sudah tentu tawuran antar siswa pun sangat terkait dengan lingkup pendidikan. Pendidikan tentunya tidak pernah mengajarkan manusia untuk menjadi binatang, bahkan pendidikan senantiasa membawa manusia untuk menjadi superman atau insan kamil. Faktor yang cukup berpengaruh besar untuk terjadi atau tidak terjadinya tawuran antar siswa tentunya adalah pendidikan. Jika pendidikannya benar, sudah tentu bukan hanya tawuran yang tidak ada, tetapi berbagai tindak kekerasan dan kriminal pun bisa berkurang.
Pendidikan semestinya mampu menyalurkan siswa untuk mencari jatidirinya, karena di usia yang sangat rentan dengan luapan emosi semestnya pendidikan bisa menjadi penyejuk bagi siswa.
Situasi kompleks dan chaos di lingkungan masyarakat kita tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi siswa. Situasi chaos akan sangat menyulut siswa melakukan banyak hal yang sebenarnya itu tidak baik dalam kerangka etika. Situasi komplek dan chaos mendorong siswa untuk melakukan tawuran, karena tekanan dan kehilangan arah tentang sistem nilai. Jika seseorang berada dalam situasi chaos tentunya dia tidak dapat membedakan dan melakukan mana yang baik dan buruk yang harus dilakukan. Situasi ini sangat sulit untuk ditampik dalam kondisi sekarang. Kompleksitas masalah yang sedang diidap oleh masyarakat tentunya sangat berpengaruh dalam kondisi siswa. Maka sudah tentu jika dilihat dalam optik seperti ini, tawuran antar siswa itu sendiri merupakan bagian dari kompleksitas serta chaos dari kondisi masyarakat itu sendiri.
Untuk membuatsatu kondisi dimana siswa harus lebih baik, salah satu hal yang mesti ditata berarti masyarakat itu sendiri. Jika dalam suatu lingkungan masyarakat yang baik, maka sudah tentu itu akan memberi pengaruh yang besar terhadap keadaan siswa. Siswa secara tidak langsung sudah diberi banyak pelajaran yang baik oleh masyarakat. melawan chaos di lingkungan masyarakat ini memang cukup berat, perlu paradigma tentang kebaikan dan kebenaran yang kokoh agar bisa menghindar dari kondisi chaos itu.
Proses mencegah tawuran itu sendiri memang tidaklah mudah. Dalam hal ini peran pendidikan sangatlah dibutuhkan. Peran pendidikan itu melingkupi pendidikan formal, nonformal dan informal.
Pendidikan formal dalam hal ini sekolah semestinya mampu membuat beberapa aturan yang bisa mencegah atau mengurangi siswa tawuran. Peran yang dilakukan pendidikan formal sangatlah besar untuk hal ini, karena masyarakat kerap melihat tawuran antar siswa disebabkan sekolah tidak mampu mendidik dengan baik para siswanya. Sekolah semestinya menciptakan banyak hal, dimana ekspresi emosional siswa bisa tersalurkan dengan lebih positif. Salahsatu ikhtiar untuk hal itu mungkin dengan diatur ulang jam sekolahnya, kemudian diberi pelajaran tambahan, dan diberikan berbagai ekstra kulikuler yang mampu mengakomodir kecerdasan siswa. Ekstra kulikuler ini sangat penting karena siswa akan bisa lebih mengembangkan bakatnya dan menemukan jatidirinya yang tidak tersalurkan dan ditemukan dalam kelas reguler. Di sini sekolah harusnya mengmbangkan multiple intelegensi agar bisa melihat bakat dan kecerdasan anak. Setelah itu tentu akan lebih mudah untuk menyalurkan keinginan siswa.
Pendidikan informal dalam hal ini adalah lingkup keluarga pun memiliki peran yang tidak kalah besar dengan pendidikan formal. Dalam kurun waktu sehari, sebenarnya siswa lebih banyak menghabiskan waktunya di lingkup informal. Dari hal itu keluarga sangat dominan untuk bisa mencegah tawuran. Banyak asumsi yang mengatakan bahwa keluarga adalah salahsatu faktor yang mempengaruhi tawuran bisa terjadi. Karena keluarga yang kurang harmonis membuat anak menjadi bringas. Dari hal ini keluarga mesti menciptakan iklim yang nyaman, agar anak lebih memilih pulang ke rumah daripada keluyuran di jalan setelah pulang sekolah. Keluarga juga harusnya memberikan banyak wejangan agar anak tidak melakukan tindakan tawuran. Selain hal itu juga, keluarga memberikan pendidikan keagamaan semaksimal mungkin agar anak lebih memahami bahwa kekerasan yang dilakukannya sangat merugikan banyak orang.
Pendidikan nonformal pun memiliki peran besar untuk mencegah tawuran siswa. Ini menjadi garda ketiga setelah sekolah dan keluarga. Biasanya di ruang pendidikan non formal, siswa merasa memiliki keluarga yang lebih dekat ketimbang di sekolah. Peran ini yang mesti dimanfaatkan agar tawuran bisa dikurangi. Karena pendidikan non formal itu sendiri bukan hanya pemberian berbagai keahlian, melainkan bagaimana seseorang bisa menjadi berguna di lingkup masyarakat.
Peran media masa tentunya sangatlah besar dalam membuat tawuran bisa menjadi lebih banyak ataupun berkurang. Media masa bisa berperan untuk lebih menjernihkan apa yang sebenarnya menyebabkan tawuran bisa muncul, dan media masa juga mampu membuat berbagai alternatif yang dapat dicerap oleh banyak orang agar tawuran bisa berhenti.
Media masa kerap melihat bahwa berita buruk adalah berita bagus. Berita buruk tersebut terus diekspose dan malah diperkeruh agar mendapat rating tinggi. Dan hal ini yang mempengaruhi secara masal tawuran bermunculan di berbagai daerah. Peran media masa sendiri adalah untuk menginformasikan dan memberi pencerdasan kepada para konsumennya. Sebenarnya jika melihat hal tersebut sudah jelas bahwa media masa tentu memiliki andil besar juga untuk mencegah tawuran itu terjadi, bukan menyulut tawuran dimana pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H