Lihat ke Halaman Asli

[KPU vs Caleg Jilid 2] Sebuah Tantangan, Seberapa Gereget Anggota DPR 2019-2024?

Diperbarui: 10 Oktober 2018   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/21/18175041/infografik-daftar-41-caleg-eks-koruptor-yang-ikuti-pileg-2019

Seorang pembaca mempertanyakan tulisan sebelumnya yang berjudul "KPU vs Caleg: Menilik Jernih Putusan MA, Siapa Pro Koruptor?" terkait kesimpulan penulis yang menyerahkan kembali pada kesadaran masyarakat mengenali calon legislatif. Tentunya solusi tersebut kontradiktif dengan yang disampaikan Mahfud MD. (https://www.liputan6.com/news/read/3438680/mahfud-md-kpu-tak-bisa-larang-narapidana-korupsi-jadi-caleg)

Mahfud berpendapat bahwa KPU telah salah karena menerbitkan PKPU yang melarang para mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri pemilihan legislatif. Seharusnya larangan itu dicantumkan dalam undang-undang karena termasuk pencabutan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin Undang -- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Argumentasi Mahfud didasarkan pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yaitu, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis." Jelas dan terang amanat UUD 1945 bahwa pembatasan yang diberikan setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya harus diatur dalam undang-undang, bukan bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.

Mengajukan diri sebagai seorang calon anggota legislatif memang sebuah hak asasi yang dijamin dalam UUD 1945. Pasal 28D ayat (3) mengatur: "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan." Tentu pemerintahan yang dimaksud adalah dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya adalah lembaga eksekutif dan legislatif.

Untuk mempermudah pemahaman pembaca, pembatasan bagi mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah akan menjadi ilustrasi yang tepat dan sebanding. Pasal 7 huruf g UU 8/2015 pada awalnya menentukan: "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: g. 

Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih" Penjelasan pasal tersebut mengemukakan: "Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini."

Ketentuan pasal tersebut diubah setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 42/PUU-XIII/2015. MK memutus Pasal 7 huruf g UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana". Artinya harus ada pengecualian yang demikian terhadap ketentuan pasal tersebut. Sedangkan penjelasan pasal tersebut dibatalkan dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terhadap Putusan MK tersebut, Mahfud pernah menyatakan bahwa sekalipun putusan a quo harus dihormati, secara pribadi dirinya kecewa. (https://www.liputan6.com/news/read/2282765/mahfud-md-kecewa-eks-koruptor-bisa-jadi-calon-kepala-daerah) Mahfud membandingkan Putusan No. 42/PUU-XIII/2015 dengan putusan serupa yang pernah diterbitkan MK sewaktu Mahfud menjabat sebagai ketua, yakni Putusan No. 4/PUU-VII/2009. Ada pun, yang dipermasalahkan oleh para pemohon ketika itu adalah konstitusionalitas dari ketentuan pasal yang mengatur bahwa para calon anggota DPR, DPD, DPRD maupun kepala daerah tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. Dalam amar putusannya, ketentuan pasal yang diuji dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh majelis yang diketuai Mahfud. Majelis juga memberikan beberapa syarat yaitu, (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Berdasarkan putusan tersebut, dapat dilihat bahwa MK ingin memberikan jangka waktu antara masa setelah seorang terpidana menyelesaikan masa pidananya dengan waktu ketika akan mengajukan diri dalam pemilihan legislatif ataupun pemilhan kepala daerah. Hal ini yang disebut sebagai proses adaptasi kembali ke masyarakat dalam pertimbangan hukumnya. Jangka waktu tersebut sesuai dengan mekanisme lima tahunan dalam pemilu di Indonesia. Menurut penulis sendiri, jangka waktu tersebut diberikan sebagai durasi yang cukup bagi masyarakat untuk mengetahui secara jelas status dari calon yang merupakan mantan terpidana. Jangan sampai setelah calon tersebut resmi dipilih oleh masyarakat, baru kemudian diketahui statusnya sebagai mantan terpidana.

Sementara itu sebagai tindak lanjut terhadap Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015, telah dilakukan perubahan terhadap UU 8/2015 melalui Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 dan Penjelasan pasalnya. Terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, diajukan uji materi ke MK. Melalui Putusan No. 71/PUU-XIV/2016, MK mengabulkan permohonan untuk sebagian dan kembali mengubah ketentuan pasal. Terkait bagian ini tidak akan dibahas lebih lanjut mengingat kurang relevan dengan topik pembahasan.

Dalam beberapa putusan yang dikemukakan sebelumnya, MK selalu menekankan adanya perbedaan terhadap jabatan-jabatan publik. Jabatan-jabatan tersebut dapat digolongkan atas (vide Putusan MK No. 14-17/PUU-V/2007):

  • Jabatan publik yang dipilih (elected officials) dan jabatan publik yang diangkat (appointed officials),
  • Jabatan publik di bidang eksekutif yang lebih bersifat melayani dan jabatan publik di bidang legislatif yang bersifat menyalurkan aspirasi rakyat,
  • Jabatan publik yang karena tugasnya membutuhkan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi, seperti hakim dan aparat penegak hukum lainnya, dan pejabata yang mengelola keuagan negara.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline