Suara seorang pelacur sama dengan suara seorang tokoh agama; yaitu sama-sama mendapatkan satu hak suara di pemilu. Adilkah?
Itulah kenapa saya secara pribadi tidak pernah ikut dalam meramaikan pesta demokrasi alias golput. Saya sadar, saya hanya seorang mahasiswa yang belum pantas untuk mendapatkan hak suara guna menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin kita lima tahun mendatang
Kasihan meraka yang sudah belajar hukum sampai S3 bahkan sampai menjadi Profesor, tapi di depan Demokrasi mereka dipersamakan dengan saya yang hanya seorang mahasiswa yang belum sarjana.
Harusnya Anda-Anda juga harus sadar seperti saya, kalau jika kapasitas Anda tidak pantas untuk menentukan siapa yang berhak menjadi presiden, jangan gunakan hak Anda. Sekali lagi, jangan gunakan hak Anda. Itu sama saja melecehkan mereka yang sudah mengecap pendidikan tentang hukum, sosial, dan politik berpuluh-puluh tahun lamanya.
Bayangkan!!!! Jika Seorang ahli politik yang jumlahnya minoritas dimana mereka tahu jalan keluar semua permasalahan di Indonesia tetapi dikalahkan dengan suara terbanyak wong cilik yang tak tahu apa-apa yang suaranya gampang dibeli dengan selembar kaos bergambar capres dan slogan-slogannya.
Betul-Betul tidak Adil...!!!!
Siapakah yang salah di sini? Bukan kaum mayoritas yang salah, apalagi yang kaum minoritas. Tapi yang salah adalah sistemmnya; Demokrasi. Demokrasi adalah sistem yang paling tidak adil diantara sistem-sistem lainnya yang pernah saya temui.
Tulisan saya ini sambungan dari tulisan saya yang pertama:
http://politik.kompasiana.com/2011/02/24/demokrasi-itu-gak-baik-lho/
Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H