Science without religion is lame, religion without science is blind. -Albert Einstein
Perkataan Albert Einstein ini mencerminkan apa yang saya lihat dari aktivitas para santri pondok pesantren Al Ittifaq, Bandung. Di sana, mereka tidak hanya belajar untuk mengaji dan menjalankan ibadah mereka sebagai orang Islam, tetapi menuntut ilmu pengetahuan yang mereka butuh sebagai bekal untuk bisa berkarya di tengah masyarakat. Kedua bidang tersebut berjalan bersama membentuk suatu keseimbangan yang, seperti Einstein siratkan, saling melengkapi. Semua orang memerlukan ilmu pengetahuan untuk bertahan hidup, tapi tanpa nilai-nilai keagamaan seperti kemanusiaan, ilmu tersebut sulit untuk berkembang menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain. Sebaliknya, tanpa ilmu, orang yang beragama tidak akan bisa mewujudkan nilai-nilai tersebut. Mereka mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan seseorang yang akan menjadi terang bagi orang lain. Mungkin kami, para pelajar SMA Kanisius, dapat belajar dari mereka mengenai kedua hal tersebut.
Sebagai orang Indonesia, toleransi menjadi sesuatu yang harus kita wujudkan dalam tiap hari kita tinggal di negeri ini. Kita selalu bertemu dengan orang yang berbeda. Perbedaan apapun itu, tidak boleh memutus harmoni yang kita miliki. Bagi saya, itulah yang menjadi dasar ekskursi kami.
Rabu, 30 Oktober 2024; hari pertama ekskursi. Saya membawa 2 buah tas, pakaian secukupnya, alat tulis, kajon dan ekspektasi bahwa kegiatan ini harus menjadi pengalaman yang saya maknai. Itu berbeda dengan diri saya 2 hari sebelumnya, yang hanya mengira kalau ekskursi ini akan menjadi sesuatu yang saya "lalui" saja. Namun, setelah saya mendengar pandangan 3 tokoh agama yang berbeda agama, saya terkejut karena apa yang masing-masing mereka katakan bisa terdengar begitu sama, yaitu mengenai toleransi. Saya menjadi tertarik karena saya bisa mewujudkannya melalui kegiatan ekskursi. Pengalaman ini tidak bisa saya sia-siakan.
3 hari adalah waktu saat saya menempatkan diri saya di tempat yang baru, dengan orang yang baru. Memikirkannya lagi membuat perasaan saya campur aduk akan optimisme dan kekhawatiran. "Apa yang akan kami lakukan di sana? Seperti apa para santri dan guru mereka? Seperti apa pondok pesantren itu sendiri?" Pengetahuan awal saya mengenai pondok pesantren bisa dibilang cukup negatif, dengan berbagai cerita yang memberikan pondok pesantren nama buruk. Namun, apa yang saya alami memutarbalikkan pandangan saya.
Langkah Awal
Kegiatan pertama yang kita lakukan adalah sambutan dari Kepala Pondok Pesantren Al Ittifaq, Om Dandan. Beliau bercerita, kalau apa yang mereka ajarkan pada para santri melebihi ranah nilai-nilai agama Islam, melainkan ilmu pengetahuan yang menjadi bekal mereka untuk dunia nyata. Saya terkejut sekaligus terkesan, namun tidak heran karena beberapa hari sebelum berangkat saya sudah coba melihat seperti apa ponpes Al Ittifaq. Saya menemukan banyak gambar kebun. Bahkan ketika berjalan menuju aula pertemuan saya melihat lahan perkebunan yang luas, hanya saja saya tidak tahu itu punya Al Ittifaq.
Beliau juga berkata kalau perbedaan bukanlah permasalahan. Dari bagaimana saya menanggapinya, perbedaan justru menjadi alasan bagi kita untuk semakin bersatu. Perbedaan itu indah, karena kita berbeda. Jika kita semua sama, apa yang bisa kita temukan indah dari masing-masing orang?
Setelah sambutan tersebut, kami akhirnya bisa bertemu dengan para santri ponpes. Mereka menemani kami berjalan mengelilingi daerah ponpes Al Ittifaq. Ada sebuah peternakan dengan macam binatang yang lengkap dan lahan perkebunan yang luas. Selama berjalan, saya bertanya terus dengan seorang santri mengenai perkebunan. Dia dapat memberitahu saya dengan rinci bagaimana Al Ittifaq mengelola kebun mereka dan bagaimana mereka bisa mendapat hasil yang maksimal. Saya terkesan akan bagaimana para santri bisa memiliki pengetahuan yang begitu banyak tidak hanya mengenai perkebunan, tetapi juga bidang-bidang lain. Saya rasa. inilah salah satu alasan mengapa perbedaan itu indah. Perbedaan dapat melengkapi satu sama lain.
Fokus pada Momen
Saya tahu kegiatan ini bukan kegiatan yang mudah, tapi kadang kala saya kesulitan untuk mengikuti kegiatan para santri. Di hari kedua ini, kami mengikuti seluruh agenda para santri, dari pagi hingga malam. Itu termasuk mengikuti pengajian pagi yang dilakukan setelah sholat subuh. Walaupun kami hanya melihat mereka mengaji, saya hanya bisa terkagum melihat dedikasi para santri untuk menghafal ayat-ayat tersebut, terlebih mereka melakukannya pada pukul 5 pagi. Saya jadi teringat akan agama saya sendiri. Mungkin saja, saya bisa belajar dari para santri, untuk juga menjalani ibadah saya dengan tekun dan taat. Kadang saya lalai, tapi saya sadar bahwa kelalaian tersebut tidak boleh terus membawa kita menjauhi nilai-nilai agama.
Dinamika kami selanjutnya memperlihatkan dualitas dari pendidikan ponpes Al Ittifaq. Awalnya, kami mengikuti para santri mengaji dan menjalankan ibadah yang menunjukan betapa teladan mereka. Kini, kami diajarkan cara membuat mochi untuk dijual beserta berbagai macam produk lain. Mereka juga mempelajari mata pelajaran yang dijumpai pada sekolah-sekolah formal, seperti matematika dan sejarah. Saya harap saya bisa seperti mereka, menyeimbangkan kedua sisi tersebut dengan rapi.