Lihat ke Halaman Asli

Antara Cinta dan Benci (22)

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rando’s pov

Dimana dia sebenarnya? Tanganku memburu bergerak di atas tuts HP-ku. Sudah banyak orang yang kuhubungi tapi tak juga menemukan keberadaannya sekarang. Apa dia terlalu marah sampai harus menghindariku dengan cara seperti ini? Arrrgghh…aku bisa gila!

“Do, kamu bisa tenang tidak sih? aku pusing lihat kamu mondar-mandir tidak jelas seperti itu,” tegur Gerald. Temanku satu itu sedang memasang mimik wajah bingung. Ekspresinya tergolong menggelikan tapi tidak sedikit pun membuatku tertawa. Ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa.

Aku mengacuhkan teguran Gerald itu dan kembali sibuk dengan HP-ku. “Sudah deh, dia pasti baik-baik saja.” Gerald kembali berujar menenangkanku.

“Kamu yakin kalau Rika itu berkata jujur?” tanyaku. Gerald mengangguk pasti. Entah untuk keberapa kalinya aku menanyakan ini padanya. Bruk. Akhirnya aku menyerah, menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur Gerald. “Dia itu kemana ya?” gumamku seraya memandangi langit-langit kamar Gerald.

“Mungkin ke tempat saudaranya,” tebak Gerald.

“Tadi aku juga sudah menanyakan itu pada ibunya, katanya Aghni izin untuk tinggal dengan Toni selama liburan ini.” Setelah bertemu Toni, aku langsung menuju rumah Aghni dan hasilnya nihil. Gadis itu belum pulang. Itulah sebabnya sekarang ini aku kebingungan mencarinya.

“Sudahlah, aku yakin Aghni bisa menjaga dirinya dengan baik. Lebih baik sekarang kamu tenang saja, kita menunggu dia muncul, oke!” saran Gerald. Bagaimana aku bisa tenang dengan keadaan seperti ini? Aku hanya dapat menghela napas menanggapi saran Gerald. Sudah tidak ada lagi yang dapat kulakukan, memang Cuma bisa menunggu. Tunggu! Tiba-tiba aku mengingat tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan Aghni dan terlewatkan olehku. Satu-satunya orang yang belum aku hubungi dan memiliki kemungkinan bersama Aghni. Tanpa pikir panjang aku bangkit dan bergegas pergi. Gerald sempat memanggilku tapi tak kuhiraukan. Aku harus segera memastikan Aghni bersama orang itu atau tidak.

***

Tina turun dari mobil yang dikendarainya. Ia tengah berdiri di depan sebuah rumah sederhana. Ini kunjungan keduanya ke rumah itu. Helaan napas panjang menjadi awal langkahnya lebih dekat dengan rumah itu. Sesampainya di depan pintu, langkahnya terhenti. Tangan kanan ia angkat setinggi dada lalu ia benturkan ringan pada pintu kayu di depannya. Tok tok tok. Hening yang menjawab ketukan pintu Tina. Wanita paruh baya itu menunggu sang pemilik rumah. Tak ada jawaban cukup lama. Ia mengulang lagi ketukannya. Tok tok tok. Waktu berjalan terasa lambat. Satu, dua, tiga, empat, lima menit… dan berakhir pada menit kesepuluh, handel pintu bergerak. Ceklek. Pintu terbuka menampilkan sesosok gadis berusia belasan tahun dengan kemeja hitam pajang dan celana pendek di atas lutut yang menampilkan paha mulusnya. Gadis itu mengernyit melihat sosok wanita di depannya. “Calista?” seru Tina, terkejut dengan gadis di depannya.

“Tante Tina, ada apa kemari?” balas Calista sopan. Ia mencoba menebak-nebak kehadiran wanita itu di rumah kekasihnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline