Lihat ke Halaman Asli

Santri dan Budaya Menulis

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

137805761498556174

  • "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. -Pramoedya Ananta Toer. Rumah Kaca (Minke, 352)-

Saya sering sekali baca-baca di kompasiana, tapi baru hari ini saya akhirnya bergabung. Ada beberapa pertimbangan saya untuk akhirnya bergabung di Kompasiana. Dan yang paling utama adalah: saya tidak bisa menulis sebaik para Kompasianer. Lalu kalau akhirnya saya memutuskan untuk bergabung di Kompasiana, itu hanya semata-mata hanya ikhtiar saya untuk bisa lebih dekat dengan Kompasianer dan belajar dari mereka yang pinter-pinter namun belum saya kenal itu. Baiklah, ayo kenalan! hehe

Ini adalah tahun kedua saya khidmat dan nyantri di Al-Muhajirin, pesantren yang banyak mencerahkan saya dan membuat saya betah. Sebab disinilah ikhtiar memelihara budaya baca-tulis ditengah kaum santri menjadi perhatian. Pihak pesantren dengan sabar menyediakan perpustakaan yang berisi berbagai buku selain buku kajian agama, lalu ada juga ekskul sastra, dan sesekali juga mengadakan event-event bedah buku yang telah mengundang beberapa penulis, seperti Tasaro GK. (Ini bisa jadi catatan buat kawan-kawan yang ingin mengadakan acara bedah buku di pesantren kami)

[caption id="attachment_275930" align="aligncenter" width="538" caption="Salah satu kegiatan Balas (Barudak Literatur Sastra) di Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta."][/caption]

Melihat beberapa tahun kebelakang, saat saya masih nyantri di Bogor, Jombang, dan NTB. Saya masih risau, kenapa pesantren tidak banyak berperan dalam memacu anak didiknya pada budaya tulis menulis yang baik. Hanya dengan alasan hal tersebut akan merusak konsentrasi belajar.

Saya dulu mesantren di pesantren Quran (khusus menghafal Quran saja), dan entah bagaimana ceritanya saya dan beberapa teman suka baca Novel, komik dan semacmnya. Namun berkali-kali pihak Pesantren sering merazia dan memusnahkan buku-buku selain buku/kitab pelajaran kami. Saya masih tidak terima itu sampai sekarang, dan untuk memenuhi gairah baca saya waktu itu saya dan teman-teman sering baca buku, komik, novel di wc atau di jemuran. Serius!

Saya masih menyesali hal tersebut. Dan saya khawatir kalau-kalau hal tersebut pada akhirnya bisa menyisakan dan menumbuhkan sikap intoleransi kepada orang-orang yang tak sepaham, dan juga menjadi benih penyakit malas baca, seperti yang saya lihat pada teman-teman seangkatan saya yang sudah tidak di pesantren lagi hari ini.

Pentingnya Budaya Menulis di Pesantren

Tidak usah muluk-muluk dan berpanjang lebar... Asy-syafii, Al-Ghazali, dan An-Nawawy itu siapa sih kalau bukan karena hasil dari proses budaya baca-tulis mereka?

So, dari mimbar Kompasiana yang mulia ini, saya ingin ajak siapapun mereka yang sedang diberi kesempatan hidup, ngupil, dan buang hajat di dunia ini, untuk ambil bagian dalam ikhtiar kebudayaan yang baik ini. Demi mendidik diri dan adik-adik kita yang berada di sekolah, pesantren, dan semua tempat yang ada untuk menempuh jalur jihad kebudayaan yang mulia ini dengan tujuan mengikis intoleransi sesama manusia, mencerahkan, dan bermanfaat bagi segala bentuk tata hidup bermasyarakat.

Salam hangat dan kecup manja untuk Kompasianer semua. :*

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline