Lihat ke Halaman Asli

Pecandu Sastra

Jurnalis dan Penulis

Mengenang Jejak Sang Guru Bangsa Melalui Buku

Diperbarui: 11 Januari 2022   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Jejak Sang Guru Bangsa | foto oleh Disisi Saidi Fatah. Ist

KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, adalah salah satu tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia (Presiden RI ke-4).

Gus Dur digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat Kristen dan Katholik serta etnis Tionghoa. Tidak hanya Indonesia, dunia pun mengakuinya. Namun sikap Gus Dur yang memberi teladan perihal pluralisme tersebut tidak serta merta disepakati oleh semua pihak.

Pasca reformasi, mungkin tidak ada sosok yang begitu se-kontroversial Gus Dur. Cendekiawan Islam yang ketika menjabat sebagai Presiden, dengan celetukannya yang khas "Gitu aja kok repot"-secara enteng memperbolehkan warga keturunan Tionghoa merayakan imlek. Selanjutnya, ia berhasil menghapus PKI pada KTP orang-orang mantan tahanan politik. Sebuah keputusan yang bahkan belum terpikirkan oleh tokoh-tokoh reformasi lainnya.

Buku 'Jejak Sang Guru Bangsa' karya M. Hamid yang diterbitkan Galang Pustaka pada 2014 ini, menyajikan informasi terkait rekam jejak Gus Dur, sepak terjangnya dari seorang ulama hingga menjadi pahlawan nasional, ideologi Gus Dur, hingga joke dan humor yang kerab menjadi ikon beliau.

Banyak hal kontroversi lainnya, selain yang disampaikan di atas, yang dibahas dalam buku ini. Menariknya, sisi kontroversi tersebut menjadi katalisator tumbuh-kembangnya sikap toleran, konsep pluralisme, dan gerakan anti-deskriminasi dalam masyarakat Indonesia. Tidak mengherankan jika banyak orang menjadikan pemikiran Gus Dur sebagai sumber rujukan. Terutama rujukan dalam perjuangan membela hak-hak hidup siapa pun yang terancam oleh dogmatisme keagamaan, chauvinisme, dan nasionalisme sempit.

Bahkan mereka yang masih memperjuangkan dan melestarikan pemikiran-pemikiran Gus Dur ini membuat suatu komunitas yang diberi nama Gusdurian. 

Dengan membaca buku ini, kita bisa kembali mengenang sosok yang begitu tinggi tingkatan moralitasnya dalam memandang kehidupan secara tulus, sederhana, jujur, dan penuh kebersahajaan.

"Dari sudut pandang . hak orang Islam memang lebih tinggi dari penganut agama lain. Tapi, Indonesia bukan negara Islam." K.H Abdurrahman Wahid - Gus Dur (hlm 87).

Identitas Buku:


Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline