Andai waktu itu media sosial sudah tumbuh di tengah kehidupan masyarakat, kematian Lelaki Kurus Berambut Panjang itu akan jadi meme olok-olok yang gurih. Banyak orang berlomba menciptakan diri paling kreatif. Emoticon "tertawaan" memenuhi memori smartphone.
Bahana mainstream begitu kuat atas kuasa daging.
Sementara sebagian kecil orang menangisiNya, dalam diam. Mereka bersembunyi. Gemetaran. Jari-jari tak mampu mengetuk tombol-tombol. Keberanian ditenggelamkan narasi-narasi menakutkan.
Tangis mereka adalah cucuran paku yang jatuh dari genangan airmata. Dari pantulan salib berbercak darah di lensa mata.
Rekaman video Tiktok jamuan malam terakhir dipenuhi komen cemoohan dan candaan. Turun temurun. Beranak pinak.
Rekaman gambar-gambar Instragram sejatinya sebuah keindahan karya fotografi sosialita. Namun redupnya cahaya ruang memburamkan arti sebuah pesta. Foto itu justru menggambarkan keraguan peserta jamuan akan kelanjutan kehidupan.
Itulah pesta kemenangan kuasa daging atas roh.
Sementara nubuat kematian Lelaki Kurus Berambut Panjang itu adalah kehinaan, sehina-hinanya manusia pada kehidupan profan.
Lalu, foto-foto roti, cawan dan minuman anggur perlambang kehidupan dan keselamatan di-zoom dan di-croping beribu kali, untuk mendapatkan bukti pengadilan.