"Merica zaman Now bukan sekedar bumbu, tapi telah menjadi tren senjata rahasia abad modern" (peb)
Bukan sulap, bukan sihir. Kisah ini bermula dari kisah nyata.
Saya awalnya berpikir, kisah ini bisa dijadikan "triger" admin Kompasiana untuk melakukan serangan balik yang paripurna setelah sekian lama dibully. Namun karena etika kerja admin Kompasiana harus "nrimo" bila dikritik, dirisak, atau dianu sampai nganu oleh si Anu sehingga serangan balik tersebut tidak mungkin mereka lakukan.
Kepasrahan admin Kompasiana dalam bekerja memajukan Kompasiana telah memaksa mereka menjadi "munafik" yang baik hati, artinya ; Bibir harus tersenyum walau hati terluka sangat dalam. Mereka berkata "iya" tetapi hatinya "tidak".
Mereka seperti politikus ulung di ruang publik yang terlihat bersahabat dengan semua kalangan, termasuk musuh politiknya. Namun ketika berada dalam kumpulan atau kelompoknya, semua keburukan "musuhnya" dibicarakan.
Mereka seperti emak-emak yang hobunya bergosip saat ngumpul sesama gosiper, namun ketika di depan obyek gosip mereka terlihat bersahabat.
Demikianlah hidup. Seperti dalam lirik lagu Ahmad Albar tertulis "Dunia ini, panggung sandiwara. Ada peran wajar, dan ada peran berpura-pura".
Saya mencoba menyuarakan admin dengan cara kemunafikan yang baik hati pula. Seolah membela padahal sembari ikutan merisak. Heu heu heu...
Alkisah Engkong Felix Tani, salah satu Kompasianer oposisi garis keras Kompasiana selain Tante Virus menuliskan "kisah Pikun"nya di artikel Kompasiana,(sumber).
Diceritakannya saat jelong-jelong with wife-nya pasca nganu di rumah, di perjalanan terdengar suara "klontang" ketika masih berada di dalam mobil yang dikendarainya.