Minimnya infrastruktur dan suprastruktur sistem sepakbola perempuan bukan jadi alasan terjadinya penghinaan marwah sepakbola dan dunia perempuan (peb)
Timnas Putri Indonesia atau Garuda Pertiwi membuat rekor yang fantastis. Lubang gawang mereka dibobol 18 gol kali tanpa balas saat melawan Timnas Australia pada Piala Asia 2022.
Publik pecinta timnas kontan bagai kebakaran rumah. Media sosial dipenuhi makian para netizen. Mereka beramai-ramai menyalahkan PSSI.
Kalah dalam pertandingan itu hal biasa. Apalagi sejak dulu secara umum Timnas Indonesia sudah terlatih menjalani kekalahan.
Mereka sudah kenyang dengan kekalahan, namun tak pernah menolak asupan kekalahan yang terus datang. Kurang baik dan permisif apa PSSI dan Timnas Indonesia? Heu heu heu...
BACA ; Timnas Putri Tidak Bisa Berprestasi, Bukti Pernyataan Haruna Soemitro Benar
Kembali ke laptop. Garuda Pertiwi bisa lolos Piala Asia di India lewat "keberuntungan" dari situasi pandemi Covid 19. Pada tahapan seleksi, dua negara dalam grup mengundurkan diri. Hal ini jadi peluang Garuda Pertiwi meraih tikel ke tahapan Piala Asia tersebut.
Selanjutnya lawan tanggguh dan real lolos tanpa keberuntungan sudah menunggu, yakni Autralia, Thailand dan Filipina yang secara peringkat FIFA berada di atas Timnas Indonesia Garuda Pertiwi.
Sementara di sisi lain, Garuda Pertiwi secara real dan sadar tidak dilahirkan dari infrastruktur dan suprastruktur dunia sepakbola modern perempuan berupa sistem kompetisi, regulasi, stake holder, dukungan, spirit-antusiasme dunia keperempuanan Indonesia dalam bersepakbola. Padahal inilah dasar dan bekal pembentukan tim sepakbola yang tangguh.
Dalam hal kepengelolaan infrastruktur itu urusan PSSI. Namun untuk sampai ke arah itu, PSSI harus punya dukungan dasar operasional yang datang dari masyarakat, khususnya dunia ke-perempuan-an Indonesia.
Masyarakat punya peran besar dan turut betanggungjawab membangun iklim sepakbola perempuan. Percuma PSSI berteriak dan bekerja bila masyarakat keperempuanan Indonesia tak memiliki "will" bersepak bola.