Sepandai-pandainya maling teriak maling, akhirnya kemalingan juga. (Peb)
Ini pengalaman kedua saya. Tapi sedikit beda dan cukup aneh dibanding yang pertama beberapa waktu lalu.
Pengalaman pertama berupa tulisan politik. Ketika sudah diposting, tidak muncul di halaman Kompasiana.
Menurut para ahli "karantika artikel" yang sudah memiliki banyak pengalaman, yakni Kompasianer Susy Haryawan, tulisan saya kena karantina admin. Kalau lolos butuh, pit en proper tes dan tes kesehatan artikel maka beberapa jam kemudian akan ditayangkan admin.
Hal itu terbukti, sekitar 2 jam kemudian artikel politik saya tertayang.
Pada pengalaman kedua, artikel saya bukan tentang politik, melainkan "humor". Judulnya "Demi Keadilan, Agenda Kompasiana Awards Dihapus Saja". Tangkapan layarnya terpampang sebelum kalimat pembuka artikel ini.
Artikel itu saya posting tadi sore sekitar pukul 17an, dan muncul di halaman Kompasiana. Tetapi ketika diklik judulnya, isi artikelnya tidak muncul. Malahan mengarah ke halaman utama Kompasiana. Saya jadi heran.
Menurut para ahli karantina, walaupun bukan artikel politik, kemungkinan di dalam artikel humor itu ada kata-kata yang sensitif. Akibatnya dicekal atau dikarantina. Saya tidak tahu pasti.
Mengetahui informasi itu, saya ingin membaca ulang ulang artikel saya untuk direvisi.
Cilakanya, artikel itu saya tulis di fitur "Nulis" Kompasiana. Jadi ketika kena "tsunami" maka hilang atau tidak bisa dilihat ulang tulisan aslinya untuk direvisi. Inilah resiko kalau nulis langsung di fitur "Nulis".