Bagai petir di kue donat yang bolong, saya dibuat terkesiap saat membaca artikel kompasianer Leya Cattleya berjudul "Apa Maksud Prof Felix Tani Meminta Kompasianer Menulis Secara Anarkis?". Saya pun jadi ngilu tak terperi. Jakun saya turun naik. Mata nanar. Bibir gemetar. Nafas ngos-ngosan. Dengkul serasa mau lepas.
Dalam pikiran saya, kok berani-beraninya Leya Cattleya mempertanyakan aksi show boxing Felix Tani yang fenomenal di Kompasiana.
Tadinya saya berharap, tidak ada seorang pun yang kulang hajat berani mengusik show boxing kompasianer Felix Tani. Saya akan jaga tekape untuk membiarkan Felix Tani show boxing dari ronde 1 sampai 15 sesuai ketentuan yang telah ditetapkan gugus tugas anarkisme19. Sampai Felix Tani mencapai maqam tertinggi anarkisme literate. Setelah itu, saya cukup menyodorkan tisu basah untuknya.
Kehadiran artikel Leya Cattleya telah mengganggu kekhusyukan dan ketabahan Felix Tani. Sungguh T e r l a l u !
Dengan bekal referensi academical nya, Leya Cattleya yang kulang hajat itu seolah menunjukkan kedigdayaannya di kanvas sebelah Felix Tani. Celakanya, dukungan referensinya sangat berat. Saya kurang mampu mencernanya. Tapi itu bukan berarti Leya Cattleya bisa "sak karep e dewe" meransak kekhusyukan Felix Tani. Bagaimanapun, Felix Tani itu orang tua, yang dituakan di Kompasiana ini. Leya Cattleya harus paham, Felix Tani itu lebih dulu ada sebelum Kompasiana beserta para adminnya lahir. Catet!
Leya Cattleya harus paham sejarah! Felix Tani adalah sejarah itu sendiri. Leya Cattleya harusnya tahu Jas Merah, jangan lupakan sejarah! Karena dengan sejarahlah kita bisa belajar untuk membangun masa depan lebih baik. Di negeri ini banyak orang pintar. Tapi banyak dari mereka yang lalai paham pada sejarah, sehingga mereka jadi korban masa kini karena tak mau belajar dari sejarah.
Artikel Leya Cattleya yang memuat rangkaian referensi argumentatif tanpa disadari atau pura-pura tidak tahu merupakan satu bentuk narasi oligarkis, namun lucunya menuduh Felix Tani berlaku oligarki. Narasi oligarkis itu sengaja dijauhkan dari sifat reflektif tersebab besarnya hasrat dirinya menduduki panggung Falix Tani yang sedang bertekun dalam anarkis-nya.
Artikel Leya Cattleya juga menciptakan narasi ke ruang publik bahwa Felix Tani tidak mampu dalam Anarkisme, Kenthirisme dan Picisanisme. Padahal, dia sendiri pernah berada di ruang trilogi itu tanpa prestasi. Tanpa mampu berbuat banyak bagi kesejahteraan literate secara lebih luas. Apa yang dilakukan tak lebih pesan kosong, yang hanya menarik pada kemasan namun tanpa isi dan rasa anu. Lalu yang dilakukan hanya jualan narasi ketidakmampuan pihak lain di panggung literate demi kemegahan diri.
Saya mengenal Felix Tani sudah lama, baik di darat, laut dan udara. Baik di alam ghaib dan alam profan. Baik di mega mall maupun pasar tradisional. Anu kami senada, sebentuk, seukuran, dan sewarna. Kami juga memiliki visi yang sama ; "semakin terdepan" , mengalahkan Valentino Rossi.
Sebagai contoh ; pada masa handphone baru ditemukan dan dijual ke masyarakat. Berbondong-bondong lah masyarakat membeli handphone itu berikut kartunya. Sementara saya dan Felix Tani tak hanya membeli handphone dan kartu, melainkan sekalian sinyal dan kotak box handphone itu, berikut kuitansi (invoice) dan brochure-nya. Itulah mengapa kami berdua tidak pernah tergantung pada pulsa. Tidak terjajah kuota.
Mungkin ulasan saya ini dianggap berpihak pada Felix Tani, dan menyerang Leya Cattleya. Saya tidak menampik. Saya hanya ingin meluruskan anu saya yang bengkok, agar publik pembaca tidak ikutan bengkok-bengkok.