Ketika fotonya dicoblos di bilik suara, saat itulah Caleg tersenyum. Aaaw!
Senyum si Caleg akan lebih lepas lagi kalau banyak gambar dirinya tercoblos itu mampu mengantarkan dia ke kursi parlemen. Lalu, bagaimana bila tidak berhasil?
Banyak caleg yang mendapatkan suara pemilih sah yang jumlahnya spektakuler, namun mereka tak bisa duduk di parlemen. Jumlah pemilihnya bahkan jauh daripada suara kompetitornya dari partai lain dalam satu Dapil (daerah pemilihan), namun si Kompetitor itu bisa mendapatkan kursi di parlemen.
Ini bukan soal kecurangan. Semua proses berjalan fair dan sah menurut aturan hukum, dari proses pencoblosan di bilik suara hingga perhitungan resmi di KPU. Namun sistem pemilu lah yang membuatnya harus gigit jari dan tersipu malu.
Hal tersebut terjadi karena partai tempat dia bergabung tidak lolos parliamentary threshold (ambang batas parlemen) karena jumlah total suara pemilih partai tidak mencukupi syarat minimal untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Bisa juga karena jumlah suara si Caleg masih kalah dengan kompetitornya satu partai dan satu Dapil. Ketika dilakukan perhitungan dengan bilangan pembagi, suaranya juga dengan kalah dengan kompetitor partai lain dalam satu Dapil.
Dapil 1 Jawa Barat yang meliputi Kota Bandung dan Cimahi, pesohor Giring Ganesha (penyanyi) dan Choky Sitohang (presenter tv) mendapatkan suara sangat signifikan, masing-masing 47 ribu dan 20 ribu suara, namun gagal mendapatkan kursi karena partainya (PSI) tidak lolos parliamentary threshold. Hal serupa terjadi pada banyak pesohor di wilayah lain.
Pertanyaannya, bagaimana pertanggungjawaban para Caleg gagal kepada para pemilih yang sudah menitipkan aspirasi?
Bila seorang Caleg gagal duduk di parlemen, namun partainya mendapatkan kursi di dapil tersebut, maka caleg tersebut bisa menitipkan aspirasi para pemilihnya kepada rekan satu partai dan satu dapil yang beruntung bisa duduk untuk pekerjaan lima tahun ke depan.
Aspirasi tersebut bisa dalam bentuk program pembangunan fisik dan nonfisik. Temannya bisa mendapatkan nama, sementara si Caleg gagal berhasil menyampaikan aspirasi pemilihnya. Beban "moral politiknya" kepada para pemilihnya jadi jauh berkurang.