Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Aktivis Politik"Mengancam" Tuhan dan Kisah Ayah dengan Anaknya

Diperbarui: 23 Februari 2019   06:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : pixabay.com

Bagaimana cara mengancam Tuhan secara tepat? 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu tahu dulu, apakah Tuhan bisa diancam supaya mau mengabulkan permintaan manusia?

Kalau bisa, sila saja lanjutkan pencarian cara-cara yang tepat membuat ancaman. Tentu saya dengan konsekuensi logis dan teologisnya.

Kalau Tuhan tidak bisa diancam, lalu bagaimana mengkomunikasikan sesuatu agar Tuhan "mau tidak mau" mengabulkan permintaan?

Alkisah pertama, ada seorang Ayah yang baik. Dia tidak bisa menolak ketika anak yang di kasihinya menyodorkan sebuah permintaan dibelikan sebuah alat permainan. Kenapa?

Pertama, si Ayah mampu membelikan permintaan anaknya itu. Bukan hanya sebuah. Satu kontainer pun mampu ayahnya belikan.

Kedua, si Anak merupakan sosok yang baik. Dia patuh terhadap segala aturan di rumahnya. Sangat hormat kepada Ayah dan Ibunya, para tetua, saudara-saudaranya dan teman-temannya. Dia rajin membantu pekerjaan di rumah sesuai kapasitasnya sebagai anak. Rajin belajar sehingga nilai pelajaran sekolahnya sangat baik. Pandai bergaul dan suka menolong teman-temannya. Selain itu taat berdoa.

Pendek kata, anaknya tersebut membuat Ayah dan Ibunya merasa nyaman dan bangga.

Suatu ketika, si Anak ngomong kepada Ayahnya minta dibelikan alat permainan yang sejak lama dia idam-idamkan. Si anak mengkomunikasikannya bukan dengan mengatakan barang itu akan menjadi miliknya sendiri, melainkan juga menjadi milik bersama teman-temannya.

Dia mengatakan mainan itu akan menjadi bagian dari dirinya dan menjadi media kebersamaan dengan teman-temannya. Dengan permainan itu, dia ingin mengajak teman-temannya ikut bergembira bersama dirinya.

Si Ayah melihat, bagi si Anak, alat permainan itu hanya "alat" semata, yang menjadi sasaran utamanya adalah pengembangan dirinya di dalam lingkungan sosialnya. Nilai tambah permainan itu bukan sebuah "pamer" kepemilikan, melainkan fungsi edukasi dan sosialnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline