Saya mulai mengetahui sepak terjang politik Ahok atau kini BTP sejak dia menjadi anggota DPR-RI periode 2009-2014. Saat itu dia merupakan politikus Golkar dapil Belitung Timur dan sekitarnya. Sedangkan saya merupakan anggota fraksi tukang baca berita media mainstream dari partai medsos pesbuk, dari dapil Lapak sendiri. Heu heu heu..
Sebelumnya,saat masih menjadi Bupati Belitung Timur tahun 2005/2006 saya juga sudah membaca berita tentang Ahok. Namun saat itu "terlalu jauh dari radar media nasional" untuk sering dijadikan Headline.
Pada masa itu, faktor kejadian politik dan kepemimpinan di daerah luar pulau Jawa memang seringkali diluputkan media nasional. Kalau pun ada, tidak masif. Hanya sekedarnya karena tidak seksi untuk dikupas terlalu dalam. Siape sih lo? Orang daerah, kan...kaaan..kaannn? Heu heu heu..
Seiring berjalannya waktu, BTP sampai juga "nyeleb politik". Bermula dia sebagai anggota Komisi II Fraksi Golkar pada Komisi II yang mengurus bidang dalam negeri, sekretariat negara, dan pemilu. Dia sering jadi perhatian media karena sikapnya yang berbeda (keras) dari sesama "orang terhormat" di Senayan. Di komisi II saat itu ramai membahas rancangan proyek E- KTP. Dia menentangnya karena dianggap kemahalan dan merugikan negara.
Dia usulkan Proyek E KTP itu dibikin seperti kartu pintar (KJP) dan sekaligus jadi kartu ATM dengan pelaksananya Bank Pembangunan Daerah di masing-masing propinsi.
Tentu saja hal itu bikin Satya Novanto selaku ketua Fraksi Golkar senewen. BTP dianggap duri dalam daging fraksi Golkar, dan penghalang proyek E-KTP. Terbukti kemudian, Setya Novanto ternyata punya kepentingan di proyek E-KTP itu.
Sempat beredar rumor, BTP akan disingkirkan dari Fraksi Golkar karena terlalu vokal. Namun tidak juga terjadi karena posisinya yang kuat dan konon banyak pegang kartu AS pihak yang ingin menyingkirkannya.
Dia mundur dari keanggotaan DPR-RI tahun 2012 untuk pilgub DKI sebagai wakil gubernur mendampingi Jokowi. Hal ini merupakan fenomena baru di dunia politik negeri ini bahwa "orang daerah" ikut berkompetisi jadi pemimpin wilayah DKI Jakarta.
Jokowi saat itu walikota Solo, otomatis statusnya orang daerah. Sedangkan BTP relatif sudah jadi elit politik nasional, tapi baju sebagai orang daerah masih lebih kental.
Bandingkan dengan sejumlah gubernur DKI sebelumnya yang dijabat tokoh nasional, artinya walau orang daerah namun sudah kondang sebagai elit politik nasional.