Aku duduk di tepi jendela kereta api yang melaju. Kucari kata-kata di dalam deru mesin, dedaunan pohon, rerumputan, rintik hujan, sawah, bukit, sungai, rumah-rumah kampung.
Banyak kutemukan kata. Ada yang terselip. Mengintip malu-malu. Berlompat-lompatan. Dan ada yang tersaji telanjang seolah ingin cepat dijamah.
Ternyata, aku hanya sampai menemukan. Tapi tak pernah mampu mengumpulkannya. Semua yang kulihat menjadi pencuri yang menguras energiku. Dengan pesona, dirayunya naluri hingga lengah. Kemudian mereka bongkar pintu-pintu ruang keindahan yang kupunya.
Tadinya kukira serabut syaraf benak bisa cekatan meraup dan menyimpan kata-kata. Ternyata aku keliru. Benak tersandera mata, dan membiarkan semuanya terlewat laju kereta.
Kemudian, malam datang menghampiri. Sembari menjajakan kata-kata, diajaknya aku melupakan ketololan tadi.
Malam terus menggoda. Ditawarkannya banyak kemudahan, tapi aku tetap tak mampu. Kemalasan begitu kuat mendera.
Lalu, tiba-tiba muncul rasa tak tega pada malam. Untuk itu kususun deretan kata di sini agar berkurang rasa bersalahku, masih di kereta yang melaju kencang.
---
Argo Parahyangan, 8/01/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H