Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap kepala Lapas Sukamiskin dan napi elit koruptor telah menegaskan bahwa kemewahan penjara untuk napi kasus korupsi bukanlah "kabar burung". Sebelumnya sudah sering terdengar di ruang publik bahwa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk para napi elit itu sangat memanjakan penghuninya. Ingat kasus "jalan-jalan" Gayus Tambunan beberapa waktu lalu.
Tak dapat disangkal bahwa mereka yang mendekam di Lapas itu adalah "orang-orang besar" yang punya uang, pernah memegang jabatan tinggi dan memiliki pengalaman birokrasi di tingkat elit negara. Selain itu mereka punya karisma sebagai pemimpin yang kuat. Dengan modal itu, mereka bisa mempengaruhi para pengelola Lapas yang "kasta" nya dibawah mereka.
Sejatinya, hukum tak mengenal kasta. Namun secara psikologis, para pengelola Lapas tak mampu melawan pengaruh kharisma superpower (superioritas) para warga binaannya. Terlebih, di Lapas itu jumlah napi koruptor bukan hanya satu atau dua orang, melainkan ratusan orang.
Superioritas dan Inferioritas di Lapas
Ketika para Napi koruptor itu berkumpul sesama mereka, maka "aura" yang tercipta bukanlah kumpulan orang pesakitan hukum, melainkan kumpulan pejabat dan pengusaha kaya raya. Mereka merupakan kumpulan orang yang terbiasa memerintah, dilayani, dan tak mudah tunduk pada "perintah" orang kecil yang "kasta" dalam kepemerintahannya jauh dibawah mereka. Apalagi, sebagai "pakar obok-obok" hukum dan birokasi dan hukum negara, mereka paham bagaimana "mengobok-obok" Lembaga Pemasyarakatan. Mereka hapal "urat geli" pengelolanya, layaknya mereka hapal strategi mengelabui hukum negara saat belum tertangkap KPK.
Faktor psikologis tertentu (yang inferior) para pengelola Lapas terhadap napi koruptor berbeda bila menghadapi napi kriminal kelas teri seperti maling ayam, pencopet, curanmor, perampok dan sejenisnya. Kepada napi jenis ini mereka "bisa galak" dan tampil superior.
Inferioritas menjadikan sebagian pengelola Lapas tunduk dan pura-pura tidak tahu adanya kongkalikong atasan mereka dengan para napi koruptor itu. Toh kelakuan para para napi koruptor itu di dalam Lapas "baik-baik" saja, tidak bikin rusuh, tidak mungkin berkelahi gegara rebutan makanan, pembawaan tenang, kebapakan, dan ramah. Mereka jauh dari potensi melarikan diri hanya karena kangen istri, rindu keluarga dan kampung halaman, atau untuk mencari kebebasan lain di luar.
Bagi pengelola lapas, yang penting susana "di dalam aman terkendali". Pengelola tidak perlu was-was diserang secara tiba-tiba saat berjaga. Hal ini menjadikan mereka "nyaman" bertugas. Dan ketika segala kebutuhan kemewahan disediakan sendiri oleh warga binaannya yang superior itu, mereka bungkam dan permisif terhadap segala permintaan. Tak ada bocoran keluar lingkungan Lapas ketika segala fasilitas mewah itu dibangun warga binaan secara swadaya
Berbeda halnya bila napi kelas teri menuntut "dimanusiakan" soal fasilitas kamar, jam besuk, makanann dan perlakuan--yang kesemuanya harus dianggarkan lembaga. Hal ini bikin repot karena berbagai keterbatasan. Belum lagi rasa was-was bertugas karena potensi "keganasan" napi kelas teri itu.
Kondisi psikologis pengelola Lapas korupsi merupakan titik lemah dan mendasar yang menjadikan idealisme kerja mereka hilang--bukan semata karena uang. Kolektifitas superior napi korupsi jauh lebih kuat dari kolektifitas "suprioritas" pengelola Lapas selaku aparat hukum. Yang terjadi justru muncul sikap inferioritas pengelola Lapas. Dalam struktur yang lebih tinggi pun (Kemenkumham) bukanlah lembaga superior dimata para napi koruptor. Hal ini disadari benar oleh para pengelola Lapas. "Bos kita aja teman-teman para "anak-anak binaan" bagaimana kita bisa tegas?"
Superioritas KPK VS "Superioritas" Napi Korupsi