Babak semifinal Piala Dunia sepakbola menyisakan tim Inggris, Perancis, Kroasia, dan Belgia. Keempat negara ini berasal dari Eropa. Bisa dianggap, babak semifinal sampai final nanti tak ubahnya Piala Eropa, bukan Piala Dunia lagi. Sensasi babak Piala Dunia jauh berkurang atau justru tidak ada, karena sudah hilang "dilindas mesin modernitas barat" dalam babak sebelumnya.
Keempat tim tersebut punya karakter bermain yang relatif sama. Gaya khas permainan Eropa, mereka bermain seperti mesin. Dingin. Terprogram. Tanpa aneka aksi seni yang eksotis. Tanpa "kreatifitas magis" individu pemain yang mencelik mata dan bikin "wow!".
Perbedaan masing-masing tim pada bentuk komponen, casing dan cara perawatan. Sementara chip dan mainboard nya relatif sama, demikian juga fitur dan sistem operasinya. Tidak ada kejutan diluar sistem operasi. Sebisanya, semua hal di lapangan bisa dipastikan out put-nya.
Mesin akan aktif kalau tombol "on" dipencet, kemudian setiap komponen mesin bekerja sesuai fungsinya, patuh pada sistem. Tempo permainan dimainkan lewat satu program di lapangan dan kendali sinyal di luar area permainan. Setelah selesai, tombol "off" pun dipencet, kemudian setiap komponen berhenti, "produksi permainan" pun selesai. Kerja mesin yang hiruk pikuk hanya terjadi di stadion. Setelah itu masih ada lanjutan "seremoni kecil dan singkat" di negara sang pemenang, sebuah pesta publik yang terstruktur dan teratur. Itulah salah satu pertanda modernitas, sekaligus kemenangan peradaban barat terhadap tuntutan ruang masa kini dunia.
Tak ada cerita lain di luar teknis sepakbola yang bisa menyentuh hati tanpa henti sepanjang tahun menyertai perjalanan sang juara selama empat tahun piala bermukim di negaranya. Tak ada cerita humanis seorang maestro yang lahir dari permukiman kumuh dan masa hidupnya menderita seperti Messi.
Tak ada cerita inspiratif seorang pemain yang empat tahun lalu (tahun 2014) masih jadi tukang cat jalanan untuk mensukseskan Piala Dunia saat negaranya jadi tuan rumah. Si pemain itu adalah Gabriel Fernando de Jesus--penyerang Brazil yang turut berlaga di Piala Dunia 2018 ini.
Tak ada kelanjutan cerita magis seorang Neymar-si Magician-yang berbau klenik tentang pilihan rambut "spagheti''nya untuk meraih trophy Piala Dunia.
Bila kita melihat Piala Dunia ke belakang, banyak kisah sepakbola melegenda sepanjang masa. Seorang Maradona--si Cebol, bisa menjadi "Tuhan" di Piala Dunia. Dengan "gol tangan Tuhan" nya, dia bawa Argentina meraih Piala Dunia 1986. Bagi negaranya--kala itu--Maradona bukan sekedar bintang, tapi orang suci (Santo) yang layak disembah. Pecinta bola di negaranya berhamba pada sosok "Tuhan" bertubuh cebol--sebuah struktur anatomi tubuh yang jauh dari gambaran sempurna hero orang Eropa (Barat).
Di negara tetangga Argentina, publik tak pernah lupa kisah melegenda dibalik heroik pemain Kolombia dan para dukun mistis pendukungnya pada piala dunia 1994, Andres Escobar pemain handal tim Kolombia harus mati ditembak pecinta bola negaranya usai Piala Dunia karena kesalahan manusiawi-nya "gol bunuh diri". Duka rakyat Kolombia menjadi duka umat sepkabola seluruh dunia.
Kisah inspiraif pemain yang berasal dari permukiman kumuh dan miskin, gocekan laksana alien seorang Messi, aksi magis seorang Neymar, perjuangan tukang cat seorang Gabriel Fernando de Jesus, "mendadak tuhan" seorang Maradona dan tragisnya nasib Andres Escobar, dan banyak lagi cerita humanis lainnya bukan sekedar pelengkap even piala dunia, melainkan jadi roh sensualitas magis piala dunia itu sendiri. Karena di situlah dunia keras dan ambisius mesin sepakbola bertemu dan berdialog dengan sisi kemanusian, bukan semata bagi pelaku lapangan hijau, melainkan bagi umat sepakbola dunia.
Sebuah Perbandingan